JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto menilai, konflik Rusia-Ukraina membuat harga minyak dunia terkerek naik hingga di atas USD 100 per barel. Hal itu membuat pemerintah Indonesia harus memikirkan ulang harga BBM bersubsidi yang berlaku saat ini.
”Wajar apabila harga BBM bersubsidi ini ditinjau kembali. Sebab, kenaikan harga minyak dunia berpotensi menguras keuangan negara apabila penyesuaian harga BBM bersubsidi tak dilakukan,” ujar Hery dalam Webinar Moya Institute bertajuk Kenaikan BBM Apakah Suatu Keharusan? di Jakarta, Sabtu (27/8/2022).
Hery mengatakan, banyak pihak yang menilai subsidi BBM itu bocor atau tidak tepat sasaran. Sehingga diperlukan rumusan kebijakan subsidi yang tepat agar tepat sasaran.
”Jangan sampai subsidi dinikmati justru oleh orang-orang kelas menengah ke atas, yang sejatinya bukan kalangan yang berhak mendapatkan subsidi,” ujar Hery.
Pada kesempatan sama, pakar energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yuli Setyo Indartono menekankan, perlunya eksplorasi dan peningkatan penggunaan energi baru dan energi terbarukan, guna menanggulangi krisis energi saat ini. Apalagi tidak ada jaminan harga BBM tidak naik lagi pada masa mendatang.
Karena itu, menurut Yuli, penting peningkatan penggunaan biodiesel, gasifikasi batu bara, dan biomass.
”Kendaraan elektrik juga opsi yang tepat. Norwegia misalnya sudah mencapai 94 persen, dan subsidinya pun menyasar segmen masyarakat yang tepat,” terang Yuli.
Yuli juga mengingatkan pemerintah bahwa insentif bagi rakyat di tengah kenaikan harga BBM tidak hanya berupa bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan sosial (bansos) seperti saat ini.
”Tetapi subsidi bisa juga dilebarkan sehingga mencakup kompor listrik atau kendaraan listrik. Insentif yang cukup bermanfaat bagi rakyat saat ini,” ucap Yuli.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman