BOGOR (RIAUPOS.CO) – Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin alias Ade Yasin tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (26/4) malam. Berdasarkan informasi yang dihimpun, diduga Ade Yasin memberikan suap kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Jawa Barat untuk meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Sampai dengan saat ini KPK mengamankan 12 orang, di antaranya Bupati Bogor Ade Yasin, beberapa orang pejabat dan ASN Pemkab Bogor, serta beberapa pihak dari BPK perwakilan Jabar," ujar Plt Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri kepada wartawan, Rabu (27/4).
Ali mengungkapkan, Ade Yasin bersama 11 orang tersebut terkena OTT lantaran diduga melakukan praktik suap pengurusan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor. Menurut Ali, mereka semua saat ini masih dalam pemeriksaan Tim Penyidik KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta untuk pengungkapkan detail kronologi adanya operasi senyap tersebut. "Perkembangan akan kembali disampaikan," ungkapnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun JawaPos.com, Ade diduga menyuap sejumlah pejabat BPK perwakilan Jawa Barat. Demi mendapatkan penilaian opini wajar tanpa pengecualian (WTP), Ade merogoh kocek cukup banyak. Hal ini berdasarkan barang bukti uang suap yang diamankan petugas lembaga antirasuah. "Hitungan sementara total suap Rp890 juta," kata sumber JawaPos.com, Rabu (27/4).
Uang tersebut, kini telah diamankan dan dijadikan barang bukti guna melengkapi berkas penyidikan perkara tersebut. Saat ini, para pihak yang diamankan tengah menjalani pemeriksaan intensif, guna ditentukan status hukumnya dalam waktu 1×24 jam.
Kasus rasuah yang menimpa Kabupaten Bogor bukan kali ini saja terjadi, sebelumnya bahkan kakak dari Ade Yasin, Rahmat Yasin lebih awal menjadi pasien KPK.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai, perbuatan yang menimpa Ade Yasin sebagai bagaian dari dugaan korupsi secara sistematis. Dia menduga, upaya dugaan untuk menyuap BPK dilakukan untuk memulangkan modal saat mencalonkan diri sebagai Bupati.
"Ya saya kira ini bagian dari korupsi sistemik, korupsi yang dilakukan sebagai upaya pengembalian modal ketika memajukan diri sebagai kepala daerah dengan ongkos yang mahal," kata Fickar kepada JawaPos.com, Rabu (27/4).
Hal ini berakibat ketika menjabat sebagai kepala daerah, selalu mencari celah untuk mengumpulkan pengembalian modalnya. "Akibatnya ketika sudah menjabat selalu berusaha mencari uang penggantinya dan ketika perbuatan itu terkontrol dan terawasi oleh institusi BPK, maka terjadilah korupsi penyuapan dari perspektif pejabat bupatinya dan korupsi pemerasan dari sudut oknum BPK," ujar Fickar.
"Ini diprediksi akan terus terjadi sepanjang Pilkadanya berongkos tinggi," tambahnya.(jpg)