JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan tafsir dan berbagai alternatif desain keserentakan pemilu di Indonesia. Dari lima alternatif yang disampaikan MK, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memilih alternatif keempat dan kelima. Desain yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilu di daerah dianggap paling memudahkan secara teknis.
Alternatif keempat adalah desain yang membagi keserentakan pemilu menjadi dua gelombang. Yakni, pemilu nasional (pilpres, DPR, DPD) dan pemilu daerah (pemilihan gubernur, bupati/wali kota, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota).
Kemudian, alternatif kelima adalah desain yang membagi keserentakan pemilu menjadi tiga gelombang. Yakni, pemilu nasional (pilpres, DPR, DPD), pemilu provinsi (pemilihan gubernur dan DPRD provinsi), serta pemilu kabupaten/kota (pemilihan bupati/wali kota dan DPRD kabupaten/kota).
"Yang manageable itu pilihan kelima. Tapi, sekurang-kurangnya pilihan keempat," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi di kantor KPU, Jakarta, Kamis (27/2).
Untuk alternatif pertama hingga ketiga yang disampaikan MK, Pram menilai tidak ideal. Sebab, opsinya menyerentakkan lima hingga tujuh pemilu. Berdasar pengalaman lalu, kata dia, pemilu lebih dari empat kotak suara sangat menyulitkan secara teknis.
Berkaca pada Pemilu 2019, petugas di lapangan keteteran. Dari aspek logistik, distribusinya juga tidak maksimal. Ada ribuan tempat pemungutan suara (TPS) yang mengalami keterlambatan logistik. Belum lagi dari sisi tenaga, prosesnya sangat melelahkan.
"Jumlah petugas kita yang meninggal berkali-kali lipat dibandingkan petugas yang meninggal pada Pemilu 2014,"’ kata mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten tersebut. Karena itu, KPU menilai alternatif pertama sampai ketiga sebaiknya tidak dipilih.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal