Sehari pascapenangkapan penambang ilegal oleh aparat Polres Dharmasraya dibantu Polres Sijunjung, Polresta Sawahlunto, Polda dan Brimob, kondisi Sitiung V, Jorong Aurjaya, Kenagarian Kotopadang, Kecamatan Sitiung, seperti perkampungan mati. Nyaris tak terlihat aktivitas warga di perkampungan yang terletak sekitar 25 km dari Mapolres Dharmasraya tersebut. Sejumlah sekolah PAUD, TK, SD dan lainnya tutup. Warga memilih mengunci pintu dan berdiam di rumahnya.
Aparat Polres Dharmasraya, kemarin (26/11), kembali mendatangi kampung tersebut.
Namun kali ini bukan untuk melakukan penangkapan lagi, melainkan memulihkan trauma warga Aurjaya, terutama anak-anak dan wanita. Polisi juga mendata dan membebaskan beberapa warga yang sempat ditangkap sehari sebelumnya. Mereka dianggap tidak terlibat dalam kasus pengeroyokan dan penyanderaan terhadap aparat kepolisian termasuk Kapolres Dharmasraya AKBP Charul Aziz.
Pantauan Padang Ekspres (Riau Pos Group) di lapangan, sebagian besar rumah warga di kampung yang terdiri dari tiga jorong, Aurjaya I, II dan Aurjaya III itu terlihat sepi. Aktivitas warga berhenti total, termasuk menakik karet dan ke kebun sawit. Para orangtua melarang anak-anaknya ke luar rumah.
Ketika aparat kepolisian datang ke perkampungan yang dihuni lebih dari 500 kepala keluarga tersebut, warga tampak memandang penuh curiga. Namun setelah dijelaskan aparat, barulah warga satu per satu menerima kehadiran aparat. “Kami trauma melihat polisi yang menangkap kaum laki-laki ke kantor polisi. Padahal, suami saya baru saja pulang dari kebun. Dia tidak ikut dalam aksi penyanderaan Kapolres tersebut, tapi tetap saja ditangkap,” ucap Ningsih, warga setempat.
Tuginem tidak kalah traumatik. Sambil menggendong anak perempuan berusia sembilan tahun, ibu muda ini masih gemetaran ketika diajak ngobrol. “Lihatlah anak saya, dia betul-betul trauma. Begitu melihat polisi datang, dia langsung minta digendong. Saya tidak tahu bagaimana caranya agar trauma anak saya bisa hilang,” jelasnya. Menurutnya, hampir semua anak-anak juga mengalami persoalan sama.
Saking traumanya, warga Aurjaya tidak berani beribadah ke mushala setempat. “Tidak ada lagi yang azan. Kaum laki-laki sebagian dibawa paksa ke Polres dan sebagian lagi sembunyi di kebun atau di hutan. Saya sendiri tidak tahu bagaimana nasib suami saya. Saat penyisiran itu, suami saya bersembunyi di hutan dan belum pulang sampai sekarang. Entah dia sudah makan atau belum,” urai Tuginem.
Sebelum kedatangan polisi, warga setempat dihebohkan dengan beredarnya isu bahwa polisi akan kembali menangkap warga, termasuk kaum perempuan, dengan menggunakan anjing pelacak. Tak ayal, warga setempat makin trauma. “Kami takut dengan informasi itu, apa lagi katanya mereka membawa anjing pelacak. Semalaman kami tidak tidur dan tidak mau makan, kami takut. Bahkan, ada yang tidur di atas loteng rumah,” ucap Wati, warga setempat.
Namun setelah Waka Polres Dharmasraya, Kompol Ary Yuswan yang memimpin tim menjelaskan kepada masyarakat bahwa kedatangannya bukanlah menangkap siapa pun, justru membebaskan sebagian warga, barulah perlahan-lahan suasana mulai mencair. Warga mulai berani bercerita soal ketakutan, anak-anak tidak sekolah atau mengaji, suami menyelamatkan diri, dan segala macam keresahanya. “Hampir seluruh perempuan di Aurjaya jadi janda semalam pak,” ujar seorang warga diamini warga lainnya.
Hampir seluruh rumah didatangi petugas untuk memulihkan trauma. Setiap kali memasuki rumah, Waka Polres tak lupa memberi penjelasan kepada warga. “Kita berharap mulai besok (hari ini, red), seluruh warga beraktivitas seperti biasa. Tidak ada lagi aksi penangkapan, semua harus berjalan normal lagi. Penangkapan dilakukan jika ada kesalahan dilakukan warga. Jika tidak bersalah, kami tidak akan menangkap,” jelas Ary.
Kapolres Dharmasraya AKBP Chairul Aziz mengamini pemulihan warga dari trauma. Menurutnya, upaya ini akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan sampai kondisi seperti semula. “Kita berharap semua ini bisa mengembalikan lagi kepercayaan diri mereka. Jika suasana betul-betul sudah normal, kita kembali akan melakukan sosialiasi dampak negatif penambangan liar dengan melibatkan berbagai pihak seperti Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), ninik mamak dan lainnya,” jelasnya.
Chairul Aziz yang sempat disandera warga beberapa jam, Sabtu (24/11) lalu, saat menertibkan penambangan emas liar, menegaskan tidak pandang bulu melakukan penertiban terhadap penambangan ilegal. “Tidak ada diskriminatif dalam memberantas penambangan liar tersebut. Seluruhnya akan kita tertibkan, artinya tidak ada anak tiri atau anak kandung dalam penertiban.” tegasnya.
Kapolres juga berjanji menindak anak buahnya yang terlibat membeking penambang liar. “Tidak ada ampunan bagi anggota saya yang terbukti terlibat dalam praktik illegal minning, mereka akan dikenakan sanksi sesuai aturan berlaku,” tegas Chairul.
Belasan Warga DPO
Sementara itu, dari 70 orang warga yang ditangkap Polres Dharmasraya dalam sweeping sehari sebelumnya, 58 orang di antaranya kembali dilepaskan. “Mereka (58 orang, red) langsung kita antarkan kembali ke rumahnya. Sebanyak 12 orang masih diperiksa intensif karena terlibat dalam penganiayaan terhadap anggota. Itu terlihat dari rekaman video yang didapat petugas,” kata Chairul.
Polisi juga sudah mengantongi beberapa nama yang ikut dalam aksi tersebut namun masih kabur. Data sementara, sedikitnya ada sekitar 12 orang dinyatakan sebagai daftar pencarian orang (DPO). Ke-12 warga ditetapkan menjadi tersangka itu yakni, DT, 60, TM, 31, RO, 30, AH, 30, KW, 35, SH, 23, WH, 20, Ir, 28, AR, 36, PR, 30 dan MRr, 33. Sedangkan 12 orang dinyatakan DPO masing-masing DD, RN, OK, BN, SN, STN, AO, MUS, APN, STN dan MR, serta SSN.
Tangkap Pembeking
Di sisi lain, anggota DPRD Sumbar asal daerah pemilihan (dapil) III, Marlis mengatakan, bentrokan aparat dan penambang emas di Sitiung V akibat pembiaran aparat dan pemkab setempat. “Secara aturan, saya mendukung penertiban tambang emas liar karena merusak lingkungan. Tapi jangan pula represif dan tebang pilih. Apalagi informasi di lapangan, maraknya penambangan liar itu juga dibeking aparat. Tidak mungkin mereka berani menambang tanpa ada perlindungan dari oknum aparat,” tegasnya.
Bila polisi benar-benar ingin memberantas dan menertibkan tambang ilegal itu, Marlis meminta polisi juga menangkap pembeking penambang.
Dari informasi yang dihimpun Padang Ekspres di lapangan, masyarakat kecewa karena aparat cenderung diskriminatif. Polisi dinilai hanya “beringas” pada penambang di Sitiung dan Kotobaru, tapi lunak terhadap penambang di sepanjang DAS Batang Hari. Terutama di hulu Batang Hari, Solok Selatan, yang jelas-jelas ditemukan ratusan eskavator dan pekerja asing ilegal, hingga kini belum ditertibkan semua.
Wakil Ketua DPRD Dharmasraya S Budi Sanjoyo menilai, semua ini tak lepas dari ketidaktegasan pemkab menindaklanjuti aksi illegal minning. “Seharusnya dari dulu Pemkab Dharmasraya jeli melihat persoalan tersebut. Jika memang tidak ada izin harus ditindak, bukankah ada Pol PP sebagai pasukan penegak perda atau koordinasi dengan pihak kepolisian. Bukan malah membiarkan aksi tersebut berlangsung, sehingga dari hari ke hari jumlahnya meningkat. Ini harus ditelusuri, kenapa masyarakat bisa bertindak brutal dan membabi buta seperti itu. Untuk itu, perlu segera cari tahu siapa saja yang punya dompeng atau kapal lanting guna mencari solusi terbaik,” usulnya. (rpg)