POLRES TETAPKAN 12 TERSANGKA, 58 BEBAS

Warga Sitiung Trauma Berat

Nasional | Selasa, 27 November 2012 - 18:35 WIB

Sehari pasca­pe­nang­kapan penambang ilegal oleh aparat Pol­res Dharmasraya dibantu Polres Sijun­jung, Polresta Sawahlunto, Polda dan Bri­mob, kondisi Sitiung V, Jorong Aurjaya, Ke­­nagarian Kotopadang, Kecamatan Si­tiung, se­perti perkampungan mati. Nyaris tak ter­lihat aktivitas warga di perkampungan yang terletak sekitar 25 km dari Mapolres Dhar­­masraya tersebut. Sejumlah sekolah PAUD, TK, SD dan lainnya tutup. Warga me­mi­lih mengunci pintu dan berdiam di ru­mahnya. 

Aparat Polres Dharmasraya, kemarin (26/11), kembali mendatangi kampung tersebut.

Namun kali ini bukan untuk melakukan penangkapan lagi, melainkan memulihkan trauma warga Aurjaya, terutama anak-anak dan wanita. Polisi juga men­data dan membebaskan be­berapa warga yang sempat di­tang­kap sehari sebelumnya. Me­reka dianggap tidak terlibat da­lam kasus pengeroyokan dan pe­nyanderaan terhadap aparat ke­polisian termasuk Kapolres Dharmasraya AKBP Charul Aziz. 

Pantauan Padang Ekspres (Riau Pos Group) di lapangan, sebagian besar ru­mah warga di kampung yang ter­diri dari tiga jorong, Aurjaya I, II dan Aurjaya III itu terlihat se­pi. Ak­ti­vitas warga berhenti total, ter­masuk menakik karet dan ke ke­bun sawit. Para orang­tua me­la­rang anak-anaknya ke luar ru­mah.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Ketika aparat kepolisian da­tang ke perkampungan yang di­hu­ni lebih dari 500 kepala ke­luar­ga tersebut,  warga tam­pak me­mandang penuh curiga. Na­mun setelah dijelaskan aparat, ba­rulah warga satu per satu me­nerima kehadiran aparat. “Ka­mi trauma melihat polisi yang me­nang­kap kaum laki-laki ke kan­tor polisi. Padahal, suami saya baru saja pulang dari kebun. Dia t­i­dak ikut dalam aksi pe­nyan­deraan Kapolres tersebut, tapi te­tap saja ditangkap,” ucap Ning­sih, warga setempat.

Tuginem tidak kalah trau­ma­tik. Sambil menggen­dong anak perempuan berusia sem­bilan ta­hun,  ibu muda ini masih ge­m­e­taran ketika diajak ngobrol. “Li­hat­lah anak saya, dia betul-be­tul trau­ma. Begitu meli­hat po­lisi da­tang, dia langsung minta di­gen­dong. Saya tidak tahu ba­gai­mana cara­nya agar trauma anak saya bisa hilang,” jelasnya. Me­nurut­nya, hampir semua ana­k-anak juga mengalami per­soalan sama.

Saking traumanya, warga Aurjaya tidak berani beribadah ke mushala setempat. “Tidak ada lagi yang azan. Kaum laki-laki se­bagian dibawa paksa ke Polres dan sebagian lagi sembunyi di ke­bun atau di hutan. Saya sendiri ti­dak tahu bagaimana nasib sua­mi saya. Saat penyisiran itu, sua­mi saya bersembunyi di h­u­tan dan belum pulang sampai se­­k­arang. Entah dia sudah ma­kan atau belum,” urai Tuginem.

Sebelum kedatangan polisi, warga setempat dihebohkan de­ngan beredarnya isu bahwa po­lisi akan kembali menangkap warga, termasuk kaum perem­puan, dengan menggunakan an­jing pelacak. Tak ayal, warga setempat makin trauma. “Kami ta­kut dengan informasi itu, apa lagi katanya mereka membawa an­jing pelacak. Semalaman kami ti­dak tidur dan tidak mau ma­kan, kami takut. Bahkan, ada yang tidur di atas loteng rumah,” ucap Wati, warga setempat.

Namun setelah Waka Polres Dharmasraya, Kompol Ary Yus­wan yang memimpin tim menje­laskan kepada masyarakat bah­wa kedatangannya bukanlah me­nangkap siapa pun, justru mem­bebaskan sebagian warga, b­a­rulah perlahan-lahan suasana mu­lai mencair. Warga mulai be­rani bercerita soal ketakutan, anak-anak tidak sekolah atau me­ngaji, suami menyelamatkan diri, dan segala macam keresa­ha­nya. “Hampir seluruh perem­puan di Aurjaya jadi janda sema­lam pak,” ujar seorang warga di­amini warga lainnya.  

Hampir seluruh rumah di­da­tangi petugas untuk me­mu­lih­kan trauma. Setiap kali me­ma­suki rumah, Waka Polres tak lu­pa memberi penjelasan ke­pada war­ga. “Kita berharap mulai be­sok (hari ini, red), seluruh war­ga beraktivitas seperti biasa. Ti­dak ada lagi aksi penangkapan, semua harus berjalan normal lagi. Penangkapan dilakukan jika ada kesalahan dilakukan warga. Jika tidak bersalah, kami tidak akan menangkap,” jelas Ary.

Kapolres Dharmasraya AKBP Chairul Aziz mengamini pe­mulihan warga dari trauma. Me­nurutnya, upaya ini akan di­la­kukan dalam beberapa hari ke de­pan sampai kondisi seperti se­mula. “Kita berharap semua ini bisa mengembalikan lagi keper­cayaan diri mereka. Jika suasana be­tul-betul sudah normal, kita kem­bali akan mela­kukan so­sia­liasi dampak nega­tif penam­ba­ngan liar dengan me­libatkan ber­bagai pihak se­per­ti Dinas Ene­rgi Sumber Daya Mi­neral (ESDM), ninik mamak dan lainnya,” jelasnya.

Chairul Aziz yang sempat di­sandera warga beberapa jam, Sab­tu (24/11) lalu, saat me­nertibkan penambangan emas liar, menegaskan tidak pandang bu­lu melakukan penertiban ter­hadap penambangan ilegal. “Ti­dak ada diskriminatif dalam mem­berantas penambangan liar tersebut. Seluruhnya akan kita tertibkan, artinya tidak ada anak tiri atau anak kandung da­lam penertiban.” tegasnya.

Kapolres juga berjanji me­nin­dak anak buahnya yang terli­bat membeking penambang liar. “Ti­dak ada ampunan bagi ang­gota saya yang terbukti terli­bat dalam praktik illegal min­ning, mereka akan dikenakan sanksi se­suai aturan berlaku,” tegas Chairul.

Belasan Warga DPO

Sementara itu, dari 70 orang warga yang ditangkap Polres Dharmasraya dalam sweeping se­hari sebelumnya, 58 orang di an­taranya kembali dilepaskan. “Me­reka (58 orang, red) lang­sung kita antarkan kembali ke ru­mahnya. Sebanyak 12 orang ma­sih diperiksa intensif karena ter­libat dalam penganiayaan ter­hadap anggota. Itu terlihat da­ri rekaman video yang didapat pe­tugas,” kata Chairul.

Polisi juga sudah mengan­to­ngi beberapa nama yang ikut da­lam aksi tersebut namun masih ka­bur. Data sementara, sedi­kit­nya ada sekitar 12 orang din­ya­takan sebagai daftar pen­carian orang (DPO). Ke-12 warga dite­tap­kan menjadi tersangka itu yakni, DT, 60, TM, 31, RO, 30, AH, 30, KW, 35, SH, 23, WH, 20, Ir, 28, AR, 36, PR, 30 dan MRr, 33. Sedangkan 12 orang dinyata­kan DPO masing-masing DD, RN, OK, BN, SN, STN, AO, MUS, APN,  STN dan MR, serta SSN.

Tangkap Pembeking

Di sisi lain, anggota DPRD Sum­bar asal daerah pemilihan (da­pil) III, Marlis mengatakan, ben­trokan aparat dan penam­bang emas di Sitiung V akibat pembiaran aparat dan pemkab se­tem­pat. “Secara aturan, saya men­dukung penertiban tam­bang emas liar karena meru­sak ling­kungan.  Tapi jangan pula re­pre­sif dan tebang pilih. Apalagi in­formasi di lapangan, marak­nya  penambangan liar itu juga dibeking aparat. Tidak mungkin mereka berani menambang tanpa ada perlindungan dari oknum aparat,” tegasnya.

Bila polisi benar-benar ingin memberantas dan menertibkan tam­bang ilegal itu, Marlis me­minta polisi juga menangkap pembeking penambang.

Dari informasi yang dihim­pun Padang Ekspres di lapa­ngan,  masyarakat kecewa kare­na aparat cenderung diskri­mi­na­tif. Polisi dinilai hanya “beringas” pada penambang di Sitiung dan Koto­baru, tapi lunak terhadap pe­nam­bang di sepanjang DAS Ba­tang Hari.  Terutama di hulu B­a­tang Hari, Solok Selatan, yang je­l­as-jelas ditemukan ratusan es­kavator dan pekerja asing ile­gal, hingga kini belum diter­tibkan semua.

Wakil Ketua DPRD Dhar­masraya S Budi Sanjoyo menil­ai, se­mua ini tak lepas dari keti­dak­tegasan pemkab menin­daklanjuti aksi illegal minning. “Se­harusnya dari dulu Pemkab Dhar­masraya jeli melihat per­soalan tersebut. Jika memang tidak ada izin harus ditindak, bu­kankah ada Pol PP sebagai pa­su­kan penegak perda atau koor­di­nasi dengan pihak kepo­lisian. Bu­­kan malah mem­biarkan aksi ter­­s­ebut berlangsung, sehingga dari hari ke hari jumlahnya me­ning­kat. Ini harus ditelusuri, kena­pa masyarakat bisa bertin­dak brutal dan membabi buta se­perti itu. Untuk itu, perlu segera cari tahu siapa saja yang punya dompeng atau kapal lanting guna mencari solusi terbaik,” usulnya. (rpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook