Anak Lakukan Penganiayaan, Perwira Polisi Dicopot

Nasional | Kamis, 27 April 2023 - 11:40 WIB

Anak Lakukan Penganiayaan, Perwira Polisi Dicopot
Tim dari Polda Sumut yang dipimpin Dir Reskrimum Kombes Sumaryono membawa kotak air soft gun sebagai barang bukti usai menggeledah rumah AKBP Achiruddin Hasibuan di Jalan Guru Sinumba, Medan, Rabu (26/4/2023). (REFINALDI SETIAWAN/RPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -  Kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat kembali terjadi. Kali ini pelakunya adalah Aditya Hasibuan (19), anak Kabag Bin Ops Direktorat Narkoba Polda Sumut AKBP Achiruddin Hasibuan. Sedangkan korbannya bernama Ken Admiral, mahasiswa asal Medan yang kuliah di University of Manchester, Inggris. Ironisnya, aksi penganiayaan itu berlangsung di depan AKBP Achiruddin. Gara-gara membiarkan aksi penganiayaan itu, karier AKBP Achiruddin kini berakhir.

Peristiwa itu sebenarnya telah terjadi pada 22 Desember 2022 lalu. Korban juga telah melapor ke Polrestabes Medan. Namun, baru dua hari ini kasus tersebut mendapat perhatian setelah video penganiayaan viral di media sosial.


Dalam video itu, Aditya terlihat menghajar Ken yang telah terkapar. Dia meludahi, memukul, menendang, bahkan menginjak kepala Ken sambil memaki-maki. AKBP Achiruddin yang juga terekam dalam video itu terlihat hanya diam melihat aksi bengis anaknya.

Setelah video keji itu viral, kasus tersebut lantas ditarik ke Polda Sumut. Kapolda Sumut Irjen Pol RZ Panca Putra Simanjuntak langsung turun tangan. Dia memerintahkan Bid Propam memeriksa AKBP Achiruddin. Hasilnya, Achiruddin dicopot dari jabatannya. Bukan hanya itu. Dia juga ditempatkan khusus (patsus) di dalam penjara sambil menunggu proses hukum selanjutnya. Achiruddin dinilai bersalah karena membiarkan aksi kriminal berlangsung di hadapannya. Aditya sendiri kini telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.

“Saudara AH (Achiruddin Hasibuan, red) dicopot sebagai Kabag Bin Ops Direktorat Narkoba Polda Sumut dan non-job. Selain itu, dia ditempatkan dalam tahanan,” kata Kabid Humas Polda Sumut Kombespol Hadi Wahyudi, Rabu (26/4), dilansir Sumut Pos (RPG). Hadi menjelaskan, AKBP Achiruddin terbukti melanggar kode etik Pasal 13 huruf M Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri. Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap pejabat Polri dilarang melakukan tindakan kekerasan, berlaku kasar, dan tidak patut. Dia menyebutkan, AKBP Achiruddin dinyatakan bersalah karena membiarkan anaknya melakukan tindakan kriminal. “Ini bentuk ketegasan Kapolda Sumut yang tidak menolerir setiap perilaku dan tindakan oknum yang mencederai nama baik Polri,” tegasnya.

Direktur Reskrimum Polda Sumut Kombespol Sumaryono menambahkan, ada dua laporan yang masuk ke polisi. Pertama, laporan yang diajukan Ken Admiral sebagai korban penganiayaan. Kedua, laporan susulan yang diajukan Aditya. Dua laporan itu telah ditindaklanjuti polisi dengan melakukan gelar perkara. Hasilnya, laporan yang diajukan Aditya tidak mengandung unsur pidana. Sedangkan laporan yang dibuat Ken Admiral mengandung unsur pidana. ’’Karena itu, Saudara AH (Aditya Hasibuan, red) akhirnya ditetapkan sebagai tersangka,’’ katanya dalam temu pers di Mapolda Sumut, Selasa (25/4) malam. Sumaryono didampingi Irwasda Polda Sumut Kombespol Armia Fahmi dan Kabid Propam Polda Sumut Kombespol Dudung. Sumaryono menuturkan, penyidik telah melakukan penjemputan paksa dan resmi menahan Aditya. “Kita akan lakukan penahanan terkait laporan penganiayaan Pasal 351 Ayat 2 dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara,” terangnya.

Dia menjelaskan, kasus itu berawal pada Rabu, 21 Desember 2022. Pelaku bertemu dengan korban di SPBU Jalan Karya, Helvetia Medan. Saat itu terjadi pemukulan dan perusakan mobil korban. Kemudian, pada Kamis, 22 Desember 2022, korban mendatangi rumah pelaku di Kompleks Tasbih untuk meminta pertanggungjawaban. Namun, sesuai video viral yang beredar, pelaku justru menganiaya korban dengan disaksikan AKBP Achiruddin. “Atas peristiwa itu, korban membuat laporan ke Mapolrestabes Medan. Namun, kasus penganiayaan itu ditarik ke Ditreskrimum Polda Sumut karena adanya saling lapor,’’ terangnya.

Kasus itu diduga dipicu oleh masalah asmara. Benarkah demikian? Sumaryono tidak menjelaskan secara gamblang. Dia hanya menyatakan bahwa pelaku dan korban terlibat perseteruan karena chatting-an seorang perempuan. Namun, tidak dijelaskan chatting seperti apa yang sampai memicu aksi keji tersebut.

Disinggung mengenai lambatnya penanganan kasus penganiayaan tersebut, Sumaryono menjawab, polisi sebenarnya telah memproses laporan korban. Namun, terkendala karena korban berada di luar negeri untuk mengikuti perkuliahan. “Beberapa hari ini korban baru kembali ke Medan. Sehingga setelah dilakukan gelar perkara,  pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan,” sebutnya.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Bambang Rukminto menilai arogansi Achiruddin Hasibuan yang merembet pada arogansi keluarga tentu tidak bisa dibiarkan. Polri harus melakukan re-indoktrinasi nilai-nilai Tribrata, Catur Prasetya, dan ideologi Pancasila hingga etika profesi Polri pada semua jajaran.

Bambang juga mendorong agar Polri tidak sekadar memberikan sanksi disiplin berupa penahanan di tempat khusus (patsus) pada Achiruddin. Sebab, selama ini sanksi itu kurang memberikan efek jera. Dia mendorong Polri memberikan sanksi berlapis berupa demosi maupun mutasi antardaerah. ”Kalau terkait dengan pelanggaran pidana (yang dilakukan Achiruddin Hasibuan, Red), harus segera dilakukan proses lanjut bila memang ditemukan bukti-bukti,” ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), kemarin (26/4).

Bambang menambahkan, Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2/2022 tentang Pengawasan Melekat (Waskat) di Lingkungan Polri harus dijalankan secara konsisten. Dalam aturan itu, atasan langsung anggota yang melakukan pelanggaran harus diberi sanksi teguran. ”Apalagi jika mengingat perilaku anggota yang sudah seringkali melakukan pelanggaran,” paparnya.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur menambahkan, kasus penganiayaan itu tidak bisa dilepaskan dari budaya militeristik yang sejak lama mengendap di lingkungan kepolisian. ”Mereka seperti sudah terbiasa melakukan kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah,” ujarnya kepada Jawa Pos (JPG).

Menurut Isnur, kultur kekerasan semacam itu mestinya sudah berubah bersamaan dengan reformasi 1998. Dimana budaya kekerasan tidak lagi diperbolehkan karena bisa bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM) dan profesionalisme polisi. ”Ini tentu menjadi tantangan yang besar bagi Kapolri untuk menghilangkan budaya kekerasan di kepolisian itu,” imbuhnya.

Isnur juga mendesak Polri tidak menghentikan kasus penganiayaan tersebut pada penyelesaian kekeluargaan. Sebab, kasus penganiayaan itu jelas sebuah pidana. Terlebih pelaku sudah masuk kategori dewasa. ”(Achiruddin Hasibuan, red) juga harus diproses secara pidana karena membiarkan penganiayaan terjadi,” ungkapnya.(tyo/dwi/oni/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook