JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Tri Nuke Pudjiastuti mengungkapkan, pihaknya sedang membuat kajian khusus terkait mobilitas penduduk dalam masa pandemi corona. Terutama soal hajatan mudik Lebaran.
”Ini kebutuhan mendesak, dalam satu sampai dua minggu ini selesai,” ujarnya dalam konferensi video bersama dengan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro kemarin (26/3). Sayangnya, jika riset baru muncul seminggu lagi, tentu terlambat. Sebab, pergerakan orang mudik ke kampung halaman mulai terjadi.
Menyangkut hal itu, Prof Nuke sangat memahami. Namun, pihaknya harus tetap menyadarkan pemerintah berdasar evidence based policy. Sebab, jika hanya berupa imbauan, akan tetap terjadi penyebaran. ”Berbeda halnya jika ada kebijakan yang lebih tegas dalam dua level, pemerintah dan masyarakat,” ungkapnya.
Lalu, apakah dapat dijadikan pedoman untuk menerapkan kebijakan lockdown? Menurut dia, full lockdown rasanya tidak memungkinkan di Indonesia. Dia menilai malah terlalu berbahaya. Sebanyak 70 persen tenaga kerja Indonesia merupakan pekerja informal yang pendapatannya adalah harian. Belum lagi soal bahan makanan yang hampir seluruhnya berasal dari luar Jakarta. ”Ketika kemampuan pemerintah menyantuni semua warganya rendah, terlalu berisiko mengambil kebijakan full lockdown,” jelasnya.
Dia berpendapat, yang paling pas adalah kebijakan semi-lockdown di setiap wilayah. Artinya, ada pembatasan mobilitas keluar masuk dalam satu wilayah. Ini berkaitan erat dengan mudik. Seharusnya ada ketegasan dari pemerintah untuk menetapkan tidak ada mudik.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga mendesak pemerintah bersikap tegas dalam penanganan Covid-19, termasuk soal mudik. Mengingat, akan ada perpindahan jutaan orang saat momen tersebut. ”Kalau mau tersebar ke semua, ya mudik aja rame-rame,” sindirnya. Dia membenarkan mudik adalah kepentingan privat. Artinya, pemerintah tidak bisa serta-merta melarang orang mudik. Kecuali, keluar kebijakan lockdown. ”Kalau keluar kebijakan ini, orang nggak bisa mudik. Orang mudik kena hukuman,” ungkapnya. Tapi, lanjut dia, perlu dipahami bahwa saat ini kondisinya berbeda. Sudah state of emergency.
Apalagi, diperkirakan masih ada puncak wabah yang harus dihadapi. Nah, ketika mudik tetap terjadi, tentu itu akan sangat berbahaya bagi orang-orang di daerah tujuan mudik. Apalagi di desa-desa terpencil yang minim fasilitas kesehatan dan tenaga medis. ”Silakan pemerintah keluarkan kebijakan. Satu sampai dua hari ini harus ada kebijakan. Mau lockdown atau tidak. Yang jelas, saya sarankan tutup (mudik, Red) saja,” tegasnya.
Selain itu, dia menyarankan pemerintah lebih tegas terhadap kebijakan pengendalian Covid-19. Yang nekat mudik, misalnya, diberi sanksi denda maupun kurungan penjara. Tak terkecuali bagi mereka yang masih cuek atas kebijakan social distancing dengan masih berkerumun atau nongkrong ramai-ramai.
Kabagops Korlantas Polri Kombespol Benyamin mengatakan bahwa pihaknya sedang menunggu instruksi pemerintah. Apakah akan ada larangan mudik atau sekadar imbauan. ’’Kebijakan Polri akan mengikuti pemerintah,” jelasnya. Bila mudik dilarang, korlantas akan menyiapkan skenario berupa pemblokadean akses di DKI Jakarta. Semua akses akan ditutup dengan mengerahkan polres dan polsek. Mulai tol, jalan nasional, hingga jalan tikus yang mengarah ke luar Jakarta. ’’Polsek bisa menutup itu,” terangnya. Polri juga akan bekerja sama dengan TNI, Kemenhub, dan satpol PP.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman