JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Saat ini rencana pemerintah memberikan kartu prakerja belum matang. Pemerintah belum memerinci mekanisme pendaftaran program pelatihan yang disediakan untuk para penganggur maupun korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di sisi lain, tidak ada batasan tentang siapa saja yang berhak menerima kartu tersebut. Penganggur yang berusia minimal 18 tahun sudah bisa mendaftar dan berhak menerima uang saku Rp 300 ribu–Rp 500 ribu selama tiga bulan.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menuturkan, harus ada sistem verifikasi yang detail sebelum program kartu prakerja ini dimulai. “Selain itu, kalau setelah pelatihan itu peserta belum mendapatkan kerja, lalu bagaimana? Jadi, jangan sampai uang Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu yang mereka terima itu justru sia-sia,” ujarnya, Rabu (25/9).
Kapasitas balai latihan kerja (BLK), lanjut dia, sangat terbatas. Per tahun BLK hanya mampu melatih 250 ribu–300 ribu orang. Jika pemerintah menargetkan 2 juta penganggur mendapatkan pelatihan dari BLK mulai tahun depan, BLK bisa mengalami overkapasitas.
Apalagi, jika dirata-rata, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 8 juta orang per tahun. Karena itu, Tauhid menyarankan pemerintah menggandeng sebanyak-banyaknya lembaga pelatihan swasta.
Anggaran Rp 10 triliun untuk kartu prakerja pada 2020, menurut Tauhid, sangatlah besar. Hampir dua kali lipat anggaran Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Artinya, beban anggaran yang ditanggung dalam program kartu prakerja harus diantisipasi sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur yang memadai. Menurut Tauhid, Kemenaker perlu menambah SDM yang bertugas khusus menangani program kartu prakerja ini.
Di bagian lain, pemerintah perlu memperhatikan pemasukan negara yang realisasinya masih jauh dari target. Hingga Agustus 2019, penerimaan negara tercatat Rp 1.189,3 triliun atau 54,9 persen dari target tahun ini. Penerimaan tersebut ditopang dari perpajakan Rp 920,2 triliun; penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 268,2 triliun; dan hibah Rp 1 triliun.
Berbagai insentif fiskal yang ditambah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan diprediksi makin menekan pertumbuhan penerimaan pajak. Padahal, pajak adalah kontributor utama penerimaan negara.
“Tiga bulan ke depan ini sebaiknya berhemat saja. Pangkas anggaran belanja yang tidak perlu,” tutur ekonom Indef Nawir Messi.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika menilai, rencana pemerintah yang memangkas PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen hingga beberapa tahun mendatang sudah dipikirkan masak-masak.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal