Kenikmatan berbuka puasa berubah petaka. Harta benda lenyap tak berbekas. Suka cita menyambut bulan suci Ramadhan, kini berbalut duka. Ribuan keluarga yang menjadi korban keganasan Batang Kuranji di 19 kelurahan, harus melalui hari-harinya dalam keprihatinan.
Laporan Gusti Ayu Gayatri, Padang
Elfida tampak lesu di kursi malas. Matanya nanar, menatap kosong jauh ke depan. Tubuh wanita 33 tahun ini tak lagi terurus. Benar-benar letih. Mimpi indahnya bersama keluarga, tercerai-berai diterjang air bah di senja kelabu itu.
Ibu muda ini tampak sedang menghimpun energi, memungut kembali harapan yang terserak. Merangkai kembali puing-puing mimpi yang tersisa bersama suami dan tiga anaknya.
Elfida, satu dari puluhan keluarga di Padang yang harus kehilangan tempat tinggal. Rumahnya yang baru saja direnovasi bertahun-tahun, lenyap diterjang air bah Banda Cupak dalam hitungan detik.
Lokasi rumah Elfida sebenarnya jauh dari Banda Cupak. Di belakang rumahnya, hanya ada hamparan sawah milik keluarganya. Untuk menopang hidup, Elfida juga beternak ayam dan kambing. Selasa (24/7) petang, semuanya berubah 180 derajat. “Saat itu kami sedang berbuka puasa. Tiba-tiba terdengar dentuman keras. Ketika membuka pintu, saya lihat jembatan Kelawi Kotopanjang ambruk,” tutur Elfita kepada Padang Ekspres (Riau Pos Group), siang kemarin.
Begitu menoleh ke kiri, alangkah kagetnya Elfita. Dia melihat air hitam pekat bergulung-gulung menerjang areal pertanian. Batu-batu sungai berukuran besar tak luput diseret air bah. Bebatuan itu mengarah ke rumahnya. “Kami langsung berlari ke kedai yang letaknya lebih tinggi. Di situ kami melihat rumah kami hancur dihantam air bah dan bebatuan,” kenang istri Basri, dengan suara serak.
Basri dan istri tak bisa berbuat apa-apa. 15 karung padi yang baru saja dipanen, 50 ekor ayam peliharaan dan seekor kambing, diseret galodo. “Semua harta benda saya di rumah habis. Tak satu pun yang selamat, termasuk ijazah dan pakaian sekolah,” ucapnya, sembari menyeka air mata.
“Semua sawah saya hancur. Mujur, 11 ekor kambing selamat setelah saya buka pintu kandang. Waktu itu, ketinggian air mencapai 5 meter,” imbuh Basri.
Waktu itu, Basri hanya pasrah dan bertahan di warung miliknya. Dia dan keluarga terkepung air hingga jam satu dini hari. “Tim SAR datang mengevakuasi warga RT 7 RW 14 Kotopanjang sekitar jam satu. Tapi saya tetap memilih bertahan karena bini sedang hamil. Untuk bisa ke seberang, harus digotong. Ndak tega melihat bini saya digotong di tengah arus deras itu. Jika salah satu petugas SAR tergelincir, istri saya bisa terseret arus,” ucapnya.
“Walau telah kehilangan rumah dan harta benda, saya bersyukur pada Allah, kami sekeluarga selamat,” kata Basri yang tampak tegar. Akibat galodo, aliran Banda Cupak terpecah menjadi dua aliran. Areal sawah berubah menjadi aliran sungai baru.
Yanti, 35, tetangga Basri, tak kalah trauma mengenang “tsunami darat” di saat berbuka puasa itu. “Saya baru meminum teh. Setelah itu, saya mendengar suara gemuruh. Saat membuka pintu, saya lihat air besar menghantam rumah kami. Saya dan anak-anak langsung berlari mencari tempat tinggi,” katanya. Malam itu, warga yang rumahnya tidak dihondoh air bah, membagi makanan pada warga yang rumahnya hancur.
Lain lagi derita Andri, 20, mahasiswa Akademi Keperawatan (Akper) Aisyiyah Gunungpangilun, Nanggalo. Ia sempat ditolak mengikuti ujian mikro biologi dan parasit di kampus karena tak membawa peralatan ujian. Setelah dijelaskan bahwa dia korban banjir Batang Kuranji di RT 03/RW 1 Kelurahan Tabing Banda Gadang kepada sang dosen, barulah dia dibolehkan mengikuti ujian.
Usai ujian, dia bersama lima orang temannya kembali membersihkan kosnya. Hatinya bertambah kacau, ketika menyaksikan semua peralatan dalam rumahnya tidak ada yang bisa dimanfaatkan. Tak ada tersisa, pakaian, laptop, tempat tidur mereka berlumur lumpur. ***