TOLAK GUGATAN UJI MATERIL

Pemecatan ASN yang Korupsi Disahkan oleh Mahkamah Konstitusi

Nasional | Jumat, 26 April 2019 - 20:47 WIB

Pemecatan ASN yang Korupsi Disahkan oleh Mahkamah Konstitusi
Ilustrasi.

JAKARTA (RIAUPOS.CO- Perlawanan pegawai negeri sipil (PNS) terpidana kasus korupsi untuk bebas dari pemecatan dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) kandas. MK menegaskan bahwa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjadi dasar pemerintah memecat PNS koruptor konstitusional.

Dalam pertimbangan putusannya, MK beralasan, seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan sebagai hal yang wajar. Sebab, dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana, seorang PNS telah menyalahgunakan dan mengkhianati jabatan yang dipercayakan sebagai ASN.
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

’’Seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian sesungguhnya secara langsung atau tidak langsung telah mengkhianati rakyat,’’ ujar Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di gedung MK Kamis (25/4/2019).

Dalam gugatan itu yang dipersoalkan adalah pasal 87 ayat (4) huruf b. Bunyinya, ’’Pegawai negeri sipil (PNS) diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah me-miliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.”

Mahkamah berpendapat, perbuatan penyalahgunaan telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara. ’’Seharusnya itu menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, maupun tugas pembangunan,’’ jelasnya.

Hanya, MK melihat adanya permasalahan konstitusional dalam frasa

’’dan/atau pidana umum’’ dalam pasal 87 ayat (4) huruf b itu. Sebab, frasa tersebut bertentangan dengan pasal 87 ayat (2).

Mahkamah menilai, frasa ’’dan/atau pidana umum’’ pasal 87 ayat (4) huruf b memungkinkan atasan PNS untuk memberhentikan bawahannya atau tidak seperti yang diakomodasi dalam pasal 87 ayat (2). Untuk menghindari ketidakpastian hukum, MK menghapus frasa ’’dan/atau pidana umum’’ dalam pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN.

Kuasa hukum pemohon Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Meski demikian, dia menghormati putusan MK. Hanya, dia menilai, penghapusan frasa ’’dan/atau pidana umum’’bisa menimbulkan tafsir baru. Yakni, PNS yang terkena pidana umum bisa bebas dari pemecatan.

Hakim MK I Dewa Gede Palguna membantah argumentasi itu. ’’Mahkamah tidak mengatakan begitu. Karena soal pemecatan itu wewenang pejabat pembina kepegawaian. Mahkamah hanya menyatakan bahwa frasa ’dan/atau pidana umum’ itu telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena kontradiktif dengan pasal 87 ayat 2,’’ ujarnya.

Gugatan tersebut dilakukan seorang PNS Pemkab Bintan bernama Hendrik. Dia pernah divonis melakukan tindak pidana korupsi pada 2012. Setelah menjalani hukuman, dia kembali bekerja.

Namun, pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) menteri dalam negeri, menteri PAN-RB, dan kepala BKN. Dalam SKB, disebutkan perintah kepada pejabat pembina kepegawaian untuk memberhentikan para PNS koruptor paling lambat pada Desember 2018. Payung hukumnya adalah pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN.(far/c10/fal)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook