MEDAN (RP) - Konflik antara warga Desa Aek Pining, Batang Toru, Tapanuli Selatan (Tapsel) dengan perusahaan tambang emas, PT Agincourt Resources, murni soal rencana pemasangan pipa pembuangan air limbah operasional tambang ke Sungai Batang Toru.
“Dari hasil kunjungan Tim Advance ke lapangan, tidak ada masyarakat yang menolak keberadaan perusahaan itu. Hanya saja, sebagian masyarakat mempersoalkan sistem perpipaan sisa air proses pertambangan ke Sungai Batang Toru,” kata Koordinator Tim Advance, Eddy Sofyan Purba, kepada wartawan di Medan, Minggu (23/9).
Dari pengamatan tim langsung selama dua hari di lokasi pertambangan, disimpulkan bahwa persoalannya hanya sosialisasi yang kurang, bahwa yang dibuang bukan limbah tapi sisa air limbah yang telah diproses dan dijamin tidak beracun, apalagi membahayakan makhluk hidup.
“Pihak perusahaan bersama pemerintah daerah nantinya bersedia membuktikannya dengan meminumnya setelah dimasak,” terang Eddy.
Untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa sisa limbah tersebut tidak berbahaya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut nantinya akan mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang menjamin setiap tetes air sisa limbah yang mengalir ke Sungai Batangtoru akan tetap terjaga kualitas dan status airnya. Artinya air tetap layak dikonsumsi setelah dimasak terlebih dulu.
“Status airnya dalam bentuk A1 yang artinya air bisa diminum setelah dimasak. Bukan langsung diminum, air (PDAM) Tirtanadi saja kita masak dulu nggak langsung diminum,” ujarnya.
Selain itu, pihak perusahaan juga berjanji dalam waktu kurun setahun, jika masyarakat masih ragu dengan air sisa limbah tersebut, pipa akan dipindahkan lebih dekat ke hilir. Bahkan dalam kurun waktu tiga tahun siap untuk langsung dialiri ke laut.
Hanya saja dalam waktu dekat ini perusahaan tambang harus segera membuang sisa air limbahnya sebelum penuh. Karena itu diharapkan tidak ada lagi penolakan pemasangan pipa oleh warga.
Pemprov Sumut berharap persoalan tambang emas dapat dicarikan solusi yang saling menguntungkan baik bagi perusahaan maupun masyarakat.
Karena itu jangan sampai ada oknum yang ingin menungganginya dengan tujuan pergantian manajemen tambang.
“Jangan ini jadi permainan-permainan dari skenario investor untuk ganti manajemen. Hal-hal yang mustahil seperti ini bisa saja terjadi mengigat tambang ini akan menhasilkan triliunan. Kalau ini muncul, yang jadi korban provinsi,” kata Eddy.
Untuk ini, lanjutnya, Pemkab Tapsel perlu lebih intens menjalin komunikasi lebih dialogis melalui berbagai pendekatan termasuk pendekatan budaya.
Sosialisasi dan pemahaman akan terus dibangun hingga masyarakat yakin bahwa kehadiran tambang menguntungkan bagi masyarakat sekitarnya seperti peluang kesempatan kerja yang terbuka untuk 2.000 masyarakat sekitar serta corporate social responsibility (CSR/tanggung jawab sosial persuhaan) akan lebih diperluas jangkauannya.
Soal rencana Pemprovsu meminta kenaikan jatah saham dari 5 persen menjadi 10 persen, Eddy Sofyan mengatakan, masalah saham, kesepakatan dan penandatanganannya itu dulu waktu masa Pak Rudolp M Pardede dan mantan Bupati Tapsel Ongku P Hasibuan.
Dari 5 persen yang diajukan dan disepakati itu, 70 persennya untuk daerah yakni Tapsel dan 30 persennya untuk Pemprovsu. Dari 70 persen yang untuk Tapsel, 40 persennya akan diberikan kepada masyarakat dan 30 persennya untuk pemkab.
“Nah dan ini kan yang ingin direvisi, untuk kepentingan bersama yaitu menjadi 10 persen yang masih dalam negosiasi,” katanya. (ari/rpg)