PADANG (RP) - Dihentikannya penyidikan dan penyelidikan 22 kasus korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, terus mendapatkan perlawanan dari berbagai elemen masyarakat. Jumat (24/5) pemuka masyarakat Pariaman yang tergabung dalam Tim 11 dan pemuka masyarakat Airbangis, Pasaman Barat, juga menyatakan penolakan mereka. Selain itu, mereka memberikan kuasa pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar (MKSS) untuk mempraperadilankan Kejati Sumbar.
Tim 11 adalah pihak yang melaporkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Wali Kota Pariaman Mukhlis R, dalam pembangunan kawasan sport center di Kelurahan Aur Karan, pada Maret 2012 lalu.
”Penghentian penyidikan kasus yang kami laporkan ke Mapolda Sumbar pada 2012 lalu oleh Kejati Sumbar, sangat mengecewakan masyarakat. Ketika disidik polisi, perkaranya sudah duduk dan sudah ada tersangka. Yaitu, Mahyuddin (wali kota saat itu, red), Mukhlis R (mantan Sekko Pariaman dan kini jadi wali kota, red), serta mantan Kabag Tata Pemerintahan, Anwar,” ungkap Ketua Tim 11, Solfiardi kepada wartawan usai menyerahkan kuasa kepada LBH Padang, Jumat (24/5).
Niat mempraperadilan Kejati Sumbar itu, menurut, Solfiardi, terpaksa ditempuh mengingat upaya hukum dalam mencari kejelasan atas kasus dugaan korupsi senilai Rp10 miliar pada 2007 itu, dari Kejati tidak ada lagi. ”Hampir lima tahun, kasus itu bergulir di penyidik, tiba-tiba saja dihentikan oleh Kejati dengan alasan tidak punya bukti kuat pada kasus tersebut. Jelas kami tidak terima,” ulas pria yang juga Ketua Organda Kota Pariaman ini.
Zainal Abidin, selaku saksi pelapor yang turut hadir di LBH Padang, juga menyatakan kekecewaannya atas penghentian kasus dugaan korupsi yang dilaporkannya bersama tim 11 pada pada 2008 lalu. Ia mengklaim punya bukti kuat, telah terjadinya indikasi korupsi dalam pengadaan tanah untuk sarana olahraga di Kota Tabuik itu. Di antara indikasi korupsi itu, sebutnya terdapat dugaan mark up pada pembelian lahan dari Rp135 ribu per meter menjadi Rp152 ribu per meter.
Sebenarnya, kata Zainal, untuk pembelian tanah untuk kepentingan pemerintah itu sudah ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 71/2000. Di aturan itu sudah ada ketentuannya soal harga.
”Namun setelah saya bandingkan, nilai penetepan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan Pemko Pariaman saat itu tidak mengacu pada Perpres tersebut. Ini yang kemudian kami laporkan ke Polda,” tegas Zainal Abidin.
Sementara, Direktur LBH Padang, Vino Oktavia yang mendapat kuasa dari Tim 11 untuk menempuh jalur hukum atas SP3 kasus pembelian lahan di Kota Pariaman itu, menyatakan siap membantu tim tersebut dalam mencari kejelasan dan kepastian hukum dari kasus bernilai hampir Rp10 miliar tersebut.
”Terus terang, dengan diberikannya kuasa kepada kami (LBH/ MKSS), kami akan meresponsnya. Untuk lebih dulu akan kami pelajari lebih dalam dan tidak tertutup kemungkinan kasus itu akan segera kami masukkan ke Pengadilan Negeri Padang guna mempraperadilan Kejati Sumbar,” sebut Vino.
Ia juga tidak menampik bila kasus yang dikuasakannya itu akan dilaporkan juga ke Komisi Pemberantasan Korupsi, mengingat kerja optimal yang diharapkan dari Kejati Sumbar kurang memuaskan pihak pelapor.
Praktisi hukum yang tergabung dalam MKSS, Oktavianus Rizwa menyebutkan akan siap membantu Tim 11 menempuh proses praperadilan. Namun begitu, MKSS tidak hanya fokus pada satu kasus itu saja.
”Sebaliknya kami lebih menaruh perhatian alasan Kejati memberikan SP3 terhadap 22 kasus dugaan korupsi, yang kami nilai cukup menarik perhatian publik Sumbar bahkan nasional,” jelasnya.
Keputusan Kejati Sumbar menghentikan penyidikan 22 kasus dugaan korupsi juga ditentang pemuka masyarakat Airbangis, Pasaman Barat. Sebab, salah satu dari 22 kasus yang di SP3 kan itu adalah kasus pengambilalihan aset nagari oleh mantan Wali Nagari Airbangis.
Beberapa pemuka masyarakat Airbangis, di antaranya Aljufri, dan Ki Jal Atri Tanjung menilai sesungguhnya Kejati tidak sungguh-sungguh ingin memberantas korupsi di Sumbar. Sebab dari awal kasus ini dilaporkan, terlihat pihak Kejati tidak serius menanggapi. Bahkan, pihak Kejati sebelumnya sudah pernah menyatakan bahwa kasus ini tidak cukup bukti. Alasannya mereka bingung apakah yang diambil alih mantan wali nagari adalah aset nagari. Kemudian, apakah aset nagari merupakan bagian dari keuangan negara.
Kemudian, warga Airbangis sudah membantu Kejati mencarikan opini hukum dari Fakultas Hukum Unand. Dari opini hukum yang dikeluarkan oleh FH Unand melalui kajian dari Prof Dr Ismansyah SH MH, Dr Suharizal SH MH, dan Yuslim SH MH cDr disimpulkan bahwa yang diambil alih wali nagari berupa 1 unit bus, dua mesin tempel Yamaha 40 PK, dan kebun sawit plasma nagari seluas 374 hektare merupakan aset nagari. Kemudian, mereka juga menyimpulkan bahwa aset nagari termasuk aset negara. Sehingga pengambilalihan aset nagari termasuk perbuatan tindakan yang merugikan negara, dan ada unsur pidananya.
”Untuk itu, masyarakat Airbangis menyatakan akan mengajukan praperadilan terkait SP3 kasus ini. Ahad (besok, red), kita akan bertemu dengan LBH untuk menyerahkan berkas dan surat kuasa,” ujar Ki Jal Atri Tanjung, tokoh Airbangis yang saat ini menjadi dosen hukum dan Ketua Yayasan Pendidikan Taman Siswa, Padang.
Sebelumnya Kejati Sumbar, Ahmad Djainuri dalam pertemuannya dengan MKSS menyebutkan, penghentian penyidikan 22 kasus dugaan korupsi itu karena kurangnya atau tidak adanya alat bukti yang cukup. Kemudian di antara kasus itu tidak ada pihak yang bisa dijadikan tersangka. Ia juga menyebutkan, penghentian itu (SP3, red) juga terkait penentuan status dari tersangka dugaan korupsi yang memang diyakini kejaksaan sulit untuk dibuktikan.
”Di antara mereka itu sudah ada sembilan tahun yang jadi tersangka, sementara setelah dilakukan pendalaman pada kasus yang disangkakan kepada mereka, ternyata tidak bukti kuat menjadikan mereka tersangka. Makanya status mereka kami jelaskan dengan meng-SP3-kan kasus dugaan yang ditimpakan kepada mereka,” terang Ahmad Djainuri.
Sebaliknya, Kejati itu tidak ingin menutup kemungkinan bila kasus yang sudah di SP3 itu bisa dibuka kembali. ”Tentunya jika ada bukti baru yang valid, dan berhubungan langsung dengan kasus-kasus tersebut. Ini berarti SP3 yang sudah dibuat itu tidak permanen,” tegas Ahmad Djainuri.(rpg)