DARI PELUNCURAN BUKU SEJARAH PERKEMBANGAN PERS MINANGKABAU (1859-1945)

Tradisi Menulis Berganti Pidato, Memandulkan Pemikiran

Nasional | Selasa, 24 Desember 2013 - 08:39 WIB

Laporan Deby Virnando, Padang

Tradisi berpidato memandulkan pemikiran. Padahal, bahasa tulis dan pers menjadi peranti komunikasi dari masa ke masa.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Layaknya kanvas yang menampilkan mozaik situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang membungkus keseharian orang di zamannya.

Sejarah mencatat, pergolakan pemikiran yang bergumul di periode awal penerbitan surat kabar di Minangkabau, turut menyumbangkan kemerdekaan bagi Republik Indonesia.

Demikian terungkap dalam Book Launching and Talkshow bertema “Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau 1859-1945” karya Yuliandre Darwis di Fakultas Kedokteran Unand, Limaumanis, Padang, Senin (23/12).

Diskusi dan bedah buku itu menghadirkan CEOO Padang Ekspres Sutan Zaili Asril dan Pemimpin Redaksi Singgalang Khairul Jasmi, yang dipandu Sekretaris PWI Padang Eko Yance.

Era penjajahan Belanda di Indonesia memakan garis masa yang sangat panjang. Sampai-sampai pergumulan antar dua etnis ini melahirkan ras baru yang dikenal dengan istilah kaum Indo (campuran Belanda-Indonesia). Meski sedarah, butuh waktu untuk menyatukannya dengan penduduk asli, terkhusus masyarakat Minangkabau.

Surat kabar Pelita Ketjil, potret kerja sama pertama orang Indo dengan Minangkabau. Kerja sama ini pula, yang menjadi ciri lain dari surat kabar periode pertama. Berlanjut hingga ratusan senarai surat kabar dan majalah Melayu di Sumbar terbit dalam kurun 1900 hingga 1942.

”Dahulu, semuanya menulis. Cendikiawan menulis, pemikir menulis, ulama menulis. Ketika hari ini pemikir tidak menulis, mampukah dia menuangkan pemikirannya?” kata Sutan Zaili Asril. Ia juga menyentil, masyarakat hari ini lebih tertarik untuk menjadi pejabat daripada penulis. Lalu berpidato dinaskahkan oleh orang tertentu.

 “Tradisi berpidato yang memandulkan pemikiran,” paparnya sembari menukilkan, ternyata modernisasi pemikiran dipengaruhi oleh tulisan.

Khairul Jasmi berpendapat, pers di Minang dipicu kebiasaan lapau menjadi tempat debat, surau tempat mengaji dan menulis. Dari sana lahir sebuah karya.  

Perdebatan intelektual, katanya, memang sudah dibolehkan dan menjadi tradisi. Lalu, berkejaran kecenderungan itu dengan waktu di antara orang yang ingin membaca dan mendengar radio.

Dalam sesi tanya jawab, KJ mengatakan, ada dua alasan orang mendirikan perusahaan pers. Yakni, kecanduan dan banyak uang. “Tidak mudah untuk mendirikan sebuah perusahaan pers,” paparnya.

Peserta diskusi, Abdullah Khusairi menyebut, pers menjadi alat perjuangan di masanya. Hanya saja, tanyanya, masihkah sama ideologi media hari ini dengan masa lalu. Ketika penulis dihargai, media menjadi wahana sehingga pers sahut-menyahut.

”Masih adakah pers yang ideal itu? Kini peran kaum muda ditunggu,” tantangnya.

Industri media tidak dapat dipisahkan dari pers. Persoalan ideologi, hanya perlu kepiawaian menempatkan porsi masing-masing sesuai kadarnya. Jika mampu menempatkan, pers akan berdiri dengan ideologi masing-masing.

Menyelam pers Minangkabau dekade 1859-1945, kaum adat dan golongan muda berbicara nasionalisme dan kemerdekaan. Kemunculan pers di Minangkabau berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Islam. Umpama dua sisi mata uang. Hampir seluruhnya berawal dari sekolah.

”Tidak ada sekolah yang tidak memiliki pers,” papar Yuliandre Darwis.

Setelah 1900, muncul organisasi yang menjadi mata rantai pemikiran. Terbentuk dari pemikiran dan menjadi motor penggerak. Sebelum kemerdekaan, setelah merdeka, hingga pecahnya reformasi merupakan out put dari organisasi.

Eko Yance menyimpulkan, pers Minang lahir dari perdebatan berkepanjangan. Dari sana juga muncul tokoh-tokoh, pers industri dan idealis sama-sama menjadi keniscayaan. Tapi, tetap berideologi.

Penulis Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945), Yuliandre Darwis mengatakan, buku yang berasal dari kepingan disertasi itu bukan perjalanan sejarah secara mutlak. Melainkan, lebih kepada gambaran pemikiran dan asal usul pemikiran pers Minang.

Buku setebal 209 halaman itu menunjukkan, pers Minangkabau tergolong salah satu yang tertua di Indonesia.

Secara garis besar menunjukkan, latar belakang sejarah Minangkabau, adat istiadat dan budayanya. Kedua, sejarah pergerakan reformasi Islam di Minangkabau saat Islam diperkenalkan pedagang Gujarat pada abad ke-8.(rpg/ade)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook