JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) dalam upaya perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Pasalnya, ada ratusan WNI yang kini terancam hukuman mati.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan, saat ini masih ada 205 WNI termasuk pekerja migran yang menghadapi ancaman hukuman mati. Jumlah tersebut tersebar di berbagai negara. Terbanyak, di Malaysia. "Di Arab Saudi masih ada tiga. Ada juga di Cina, Singapura, dan Qatar," ujarnya.
Fakta tersebut pun diminta untuk tidak dibiarkan. Pemerintah harus memaksimalkan bantuan hukum, konsuler, dan diplomasi. Termasuk, diplomasi tingkat tinggi dan kepala negara.
Diakuinya, saat ini bantuan hukum, konsuler, dan diplomasi ini memang sudah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Mengingat, sebelum tahun 2011, banyak kasus sulit dibebaskan lantaran Pemerintah Indonesia belum memiliki lawyer tetap di negara tersebut. Selain itu, tidak ada data hingga pemantauan terhadap WNI yang terjadi. Sehingga, pendampingan hukum sering kali terlambat. Padahal, harusnya dilakukan sejak awal kasus muncul.
Meski begitu, menurutnya, nyawa para WNI tersebut masih bisa diselamatkan dengan memaksimalkan high level diplomacy saat ini. "Karena high level diplomacy meaningfull untuk perlindungan warga, tidak hanya soal kerja sama ekonomi," tegasnya.
Ia juga berharap, Pemerintah Indonesia segera menghapuskan hukuman mati. Karena, hal tersebut merupakan pelanggaran HAM. "Seperti yang kita selalu sampaikan kepada Saudi untuk menghentikan eksekusi mati yang merupakan pelanggaran HAM, pun demikian juga dengan Pemerintah Indonesia," paparnya.
Sebelumnya, dua orang WNI telah dieksekusi di Arab Saudi pada Kamis (17/3). WNI bernama Agus Ahmad Arwas (AA) alias Iwan Irawan Empud Arwas dan Nawali Hasan Ihsan (NH) alias Ato Suparto bin Data dihukum mati atas kejahatannya dalam kasus pembunuhan sesama WNI.
Kasus yang menjerat keduanya terjadi pada Juni 2011 silam. AA dan NH ditangkap polisi Saudi bersama Siti Komariah (SK) atas tuduhan pembunuhan WNI bernama Fatmah atau Wartinah. Fatmah ditemukan tewas dengan tanda-tanda kekerasan fisik dan seksual pada tubuhnya. Ketiganya pun didakwa melakukan pembunuhan berencana. Di mana kemudian, AA dan NH mengakui aksi kejinya dengan alasan dendam atas penganiayaan yang dilakukan korban terhadap mantan istri NH.
"AA dan NH divonis hukuman mati pada 16 Juni 2013. Keduanya kemudian mengajukan banding namun tetap divonis mati pada 19 Oktober 2018," Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha. Sedangkan SK divonis hukuman penjara selama 8 tahun dan 800 kali hukuman cambuk.
Dia menegaskan, selama ini pemerintah, baik melalui KBRI Riyadh dan KJRI Jeddah telah melakukan berbagai upaya pendampingan dan litigasi di berbagai tingkatan persidangan. Bahkan sampai saat-saat terakhir jelang eksekusi, semua jalur komunikasi pada tingkat tinggi dijalankan guna mendapatkan keringanan hukuman.
Bahkan Presiden pun sudah bersurat secara pribadi kepada Raja Arab Saudi pada Juli 2011 dan Maret 2019 untuk meminta keringanan hukuman bagi kedua WNI tersebut.(mia/jpg)