JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan, beredarnya video seorang Jaksa yang diduga menerima suap dalam pengurusan perkara yang menjerat Habib Rizieq Shihab adalah tidak benar alias hoaks.
Video yang beredar di media sosial itu mengaitkan dengan penjelasan Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jam Pidsus) Kejagung 2016 lalu.
Sebab ramai beredar video dengan caption ‘Terbongkar kasus Jaksa yang menangani kasus sidang HRS menerima uang suap Rp 1,5 miliar’. Hal ini dibantah oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
“Bahwa video penangkapan seorang oknum Jaksa oleh Tim Saber Pungli Kejaksaan Agung adalah peristiwa yang terjadi pada bulan November tahun 2016 yang lalu dan bukan merupakan pengakuan Jaksa yang menerima suap kasus sidang Habib Rizieq Sihab,” kata Leonard dalam keterangannya, Ahad (21/3).
Leonard menjelaskan, penangkapan oknum Jaksa berinisial AF di Jawa Timur tersebut terkait dengan pemberian suap dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi Penjualan Tanah Kas Desa di Desa Kali Mok Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep Jawa Timur. Dia menegaskan, tidak ada kaitannya dengan sidang perkara yang menjerat Rizieq Shihab.
“Bahwa pejabat yang menjelaskan penangkapan oknum Jaksa AF pada video tersebut, adalah Bapak Yulianto, SH. MH, yang saat ini sudah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (NTT),” ujar Leonard.
Leonard memastikan, video penangkapan oknum Jaksa AF tidak sama sekali ada kaitan dan hubungannya dengan proses sidang Muhammad Rizieq alias Habib Rizieq Sihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Terlebih kasus yang menjerat mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu baru disidangkan.
“Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung menegaskan bahwa informasi dalam video tersebut adalah tidak benar atau hoax,” tegas Leonard.
Oleh karena itu, Kejaksaan meminta agar masyarakat untuk tidak menyebar-luaskan video tersebut. Serta tidak mudah percaya dan terprovokasi dengan berita bohong atau hoaks sebagaimana video yang sedang beredar saat ini.
“Kami juga meminta agar masyarakat tidak membuat berita atau video atau informasi yang tidak benar kebenarannya dan menyebarluaskan kepada masyarakat melalui jaringan media sosial yang ada,” pinta Leonard.
Perbuatan menyebarluaskan itu bisa dijerat dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pasal 45A ayat (1).
“Setiap orang, yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dipidana dengan pidana penjara enam tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,” pungkas Leonard.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman