OLEH: DHIMAM ABROR DJURAID (PEMIMPIN REDAKSI JAWA POS 2000–2002)

Bjorka

Nasional | Minggu, 18 September 2022 - 10:07 WIB

Bjorka
Dhimam Abror Djuraid (ISTIMEWA)

SUDAH lebih dari se­ming­gu Bjorka mengacak-acak dunia digital Indonesia. Dia meretas berbagai data pejabat tinggi Indonesia dan membagikannya ke publik. Para elite politik Indonesia memburu Bjorka, tapi sejauh ini masih sia-sia. Seorang pemuda bernama Mohammad Agung Hidayatulloh berusia 21 tahun asal Madiun ditangkap dan awalnya diduga sebagai Bjorka. Ternyata Agung yang bekerja sebagai penjual es itu bukan Bjorka. Dia pun dilepas. Meskipun akhirnya dia ditetapkan sebagai tersangka karena diduga membantu Bjorka.

Bjorka yang diburu oleh tim khusus semakin terkekeh-kekeh. Dalam sebuah unggahan merespons penangkapannya, Bjorka mengolok-olok pejabat Indonesia sebagai ”bunch of idiots”, gerombolan orang tolol. Narasi ”gerombolan” dan ”tolol” sedang trending topics di Indonesia. Gerombolan diasosiasikan dengan omongan politikus PDIP Effendi Simbolon saat rapat dengar pendapat di DPR. Dan ”tolol” diasosiasikan dengan aktivis medsos Eko Kuntadhi yang mengunggah video Ning Imaz dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Dua-duanya lagi kena batunya gegara komennya yang kebablasan.


Ada yang menyebut Bjorka sebagai peretas budiman dan menjulukinya ”Robin Hood Digital”. Tapi, ada juga yang mencurigainya sebagai ”double agent”, agen ganda. Sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik dari dua isu besar. Yaitu, kasus pembunuhan terkait Irjen Ferdy Sambo dan demonstrasi rakyat menentang kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak).

Bjorka langsung bereaksi terhadap kecurigaan itu. Kata Bjorka, dia tidak mengenal siapa itu Ferdy Sambo dan dia tidak merasa punya urusan dengan Sambo. Pernyataan ini tidak sepenuhnya meyakinkan, tetapi setidaknya sudah menjawab kecurigaan.

Bjorka memang nakal dan kurang ajar. Dia meretas data pribadi Menteri Kominfo Johnny G Plate dan membukanya kepada publik. Di dunia digital, tindakan itu lazim disebut sebagai ”doxing”. Menteri Johnny yang gerah kemudian mengganti nomor handphone-nya dengan nomor baru dari Amerika. Itu pun langsung ketahuan oleh Bjorka dan langsung dihajar lagi. Salah tangkap terhadap ”Bjorka” semakin membuat Menteri Johnny dipermalukan. Seruan agar Menteri Johnny di-reshuffle pun bermunculan.

Terlihat sekali bahwa Menteri Johnny hanya bisa menerapkan strategi bertahan total dari serangan Bjorka. Serangan Bjorka ini memunculkan pertanyaan publik mengenai tingkat keamanan data pribadi warga negara. Kalau lembaga-lembaga negara saja bisa dibobol dengan mudah, bagaimana dengan data warga negara biasa.

Menteri Johnny mempertanyakan mengapa publik mengelu-elukan dan menganggap Bjorka sebagai pahlawan, padahal dia melakukan kejahatan digital. Publik sebenarnya tidak melakukan glorifikasi kejahatan digital yang dilakukan Bjorka. Publik hanya merasa senang bisa melampiaskan kejengkelannya kepada pemerintah. Karena selama ini dianggap abai terhadap keamanan data pribadi warga. Bjorka mewakili kejengkelan publik itu.

Seperti yang diungkap Bjorka, ada 1,3 miliar data kartu SIM yang bocor dan diperjualbelikan secara bebas. Menurut akun Bjorka, ada 26 juta data pelanggan Indihome yang bocor dan masih ada lagi data 17 juta pelanggan PLN yang bocor. Dengan jumlah data yang mencapai miliaran, berarti bukan hanya bocor, tetapi bobol dan jebol. Kemenkominfo gagal melindungi hak-hak privasi rakyat dan harus mempertanggungjawabkannya.

Dalam akunnya, Bjorka mengaku telah meretas banyak data penting milik negara, termasuk data-data intelijen. Data-data ini akan dibeber kepada publik. Menko Polhukam Mahfud MD pun ikut berkomentar terhadap ancaman Bjorka ini. Kata Mahfud, Bjorka bisa saja membobol data-data pemerintah, tapi data-data itu bukan data penting.

Mungkin Mahfud menganggap bahwa data-data kecil itu tidak penting. Atau mungkin Mahfud menganggap bobolnya data jutaan pelanggan Indihome dan PLN itu tidak penting. Mungkin Mahfud harus diingatkan mengenai skandal Cambridge Analytica yang membobol data jutaan pengguna Facebook di Amerika dan jutaan lainnya di Inggris. Data-data yang bobol itu kemudian dimanfaatkan oleh konsultan politik untuk diperjualbelikan kepada klien yang akhirnya menjadi skandal politik yang mempermalukan Amerika dan Inggris.

Data yang bobol itu diperkirakan jatuh ke tangan kubu politik Donald Trump. Kemudian memanfaatkan data itu menjadi senjata kampanye komputasional untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik. Sudah jamak diketahui bahwa kemenangan Trump atas Hillary Clinton dalam pemilihan presiden 2016 dipengaruhi oleh kampanye negatif komputasional Trump terhadap Hillary.

Pendiri Facebook Mark Zuckerberg diadili oleh Kongres Amerika dan dimintai pertanggungjawaban atas kebobolan itu. Zuckerberg mengaku bersalah dan meminta maaf kepada pemerintah dan rakyat Amerika. Tragedi ini bisa terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Kebobolan miliaran data warga Indonesia itu, tidak mustahil, akan melahirkan berbagai kejahatan digital. Dan, tidak tertutup kemungkinan berpotensi memunculkan kecurangan politik pada Pemilu 2024.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook