’’Radikalisme di kampus perlu diawasi,’’ kata Nasir di sela menghadiri penandatanganan nota kerja sama Politeknik Negeri Madiun (PNM), Pemkot Madiun, dan PT INKA, beberapa waktu lalu.
Pengungkapan terorisme di Universitas Riau seolah menampar penyelenggaraan pendidikan tinggi di tanah air. Di hadapan awak media, saat itu Nasir tak menampik fungsi pengawasan terhadap perguruan tinggi masih dirasa kurang.
Pengungkapan terorisme di Universitas Riau harus menjadi pelajaran meningkatkan fungsi pengawasan itu. ’’Agar dosen dan mahasiswa tak lagi terkontaminasi paham radikalisme, ada cara-cara pengawasan yang bisa dilakukan,’’ ujarnya.
Pertama, adalah pengawasan terhadap sistem pembelajaran di kampus. Melalui pembelajaran itulah, paham menyimpang dari ideologi pancasila bisa ditularkan, terutama dari dosen kepada mahasiswa mereka. Dosen-dosen itu, bisa diketahui dari aktivitasnya, khususnya di media sosial.
’’Ada kemungkinannya. Yang jelas ketika guru (dosen) iya, maka murid-muridnya tentu bisa terpengaruh. Ada dosen yang di posting-an media sosial mengaku pendukung kelompok radikal, itu di-nonjob-kan,’’ beber Nasir.
Nasir bahkan menyebut potensi infiltrasi paham radikalisme sama besarnya di berbagai kampus. Tak hanya di Universitas Riau. Kendati dia mengaku belum punya cukup bukti terkait banyak tidaknya dosen atau kampus yang terpapar paham radikal.
’’Yang jelas potensi itu sama saja, entah di Undip atau ITS, misalnya,’’ kata dia. ’’Awasi betul para dosen. Pendataan bisa melalui rektor,’’ imbuh Nasir. Pengawasan kedua yang bisa dilakukan untuk meminimalkan paham radikal masuk kampus adalah memantau aktivitas media sosial para civitas akademika. Baik dosen maupun mahasiswa. Pasalnya, Nasir melihat juga ada kecenderungan paham radikalisme menyebar tidak hanya dari dosen langsung kepada mahasiswa, namun juga dari media sosial.