JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Nilai tukar rupiah menembus Rp15 ribu per dolar Amerika Serikat (AS), kemarin. Tepatnya, Rp 15.187,50. Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga anjlok dengan finis di zona merah. Analis pasar moda Hans Kwee menilai pandemi wabah corona (Covid-19) membuat nilai tukar rupiah melemah dan IHSG merosot. Banyak investor asing yang menarik diri dari pasar modal. Memilih safe haven untuk menyimpan asetnya.
"Termasuk Indonesia. Kita tidak bisa mencegah (investor) asing keluar. Mengingat jumlah terinfeksi Covid-19 di dalam negeri juga meningkat," kata Hans kepada Jawa Pos (JPG), kemarin. Wajar jika kondisi pasar modal dan keuangan Tanah Air terpukul.
Sejak perdagangan pasar modal dibuka, IHSG terkoreksi 61 poin atau 1,3 persen di posisi 4.629. Sedangkan, indeks LQ45 melemah 14 poin (1,9 persen) ke 717. Pukul 15.02, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat memberhentikan perdagangan sementara (trading halt). Sebab, IHSG terpantau merosot 5 persen ke posisi 4.456. Hingga penutupan, IHSG finis di 4.456 atau turun 234 poin.
Menurut Hans, untuk menyelamatkan pasar modal Indonesia perlu peran investor lokal. Berharap mereka tidak ikut-ikutan latah menjual saham. Yang harus dilakukan adalah tetap tenang. Justru, seharusnya menggunakan momentum saat ini untuk belanja saham. Memetakan emiten yang memiliki kinerja cemerlang untuk membeli saham mereka.
"Sehingga ketika nanti harganya kembali naik bisa dijual. Pengalaman saya di setiap krisis selalu mendatangkan keuntungan," ucap pria yang juga menjabat Direktur PT Anugerah Mega Investama itu.
Sementara itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menuturkan, kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini diprediksi berlangsung hingga beberapa waktu ke depan. Prediksi itu didasarkan pada beberapa kondisi yang terus memicu sentimen negatif. Bhima menyebut, kebijakan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang kembali menerapkan pogram quantitative easing (QE) menjadi salah satu faktor pemicu pelemahan nilai tukar. Seprti diketahui, AS menerapkan kembali QE senilai 700 miliar dolar AS. QE adalah kebijakan moneter non-konvensional yang dipakai bank sentral untuk mencegah penurunan suplai uang ketika kebijakan moneter standar mulai tidak efektif.
"Nah, QE ini dilakukan ketika kondisi mendekati resesi, ini nggak beresnya di situ. Jadi ini kondisi persis seperti (krisis) 2008-2009, kondisi yang sedang nggak bagus," ujarnya kepada JPG, kemarin (17/3).
Program QE yang dilancarkan The Fed akan dilakukan lewat Departemen Keuangan dengan pembagian 500 miliar dolar AS dan agen sekuritas 200 miliar dolar AS. Pembelian surat berharga dimulai sejak awal pekan ini senilai 40 miliar dolar AS. Bhima bahkan memprediksi volatilitas rupiah akan makin tertekan di pekan depan. "Saya duga tembus Rp15.500 per dolar AS di awal pekan depan. Sekarang saja sudah Rp15.150-an," imbuhnya.
Seperti diketahui, kemarin (17/3) pergerakan nilai tukar rupiah tak terkendali. Bloomberg mencatat, pada pukul 10.10 WIB, rupiah berada di posisi Rp15.015 per dolar AS, melemah 0,55 persen dibanding penutupan kemarin. Posisi tersebut merupakan level terendah sejak 26 Oktober 2018. Kala itu rupiah berada di level Rp15.217 per dolar AS.
Terlebih, lanjut Bhima, Presiden AS Donald Trump juga untuk pertama kalinya mengatakan bahwa ekonomi AS akan menuju resesi. Bhima menyebut, statement Trump itu juga berpengaruh pada pergerakan para pelaku pasar, termasuk di dalam negeri. Komentar Trump itu juga diperparah dengan kebijakan The Fed yang sebelumnya mengambil sejumlah langkah darurat. Tak hanya menurunkan suku bunga hingga menjadi di kisaran 0-0,75 persen, The Fed juga menempuh berbagai kebijakan lainnya. Di antaranya yakni mengizinkan perbankan untuk menarik pinjaman selama 90 hari dari bank sentral dan mengurangi rasio cadangan wajib minimum menjadi 0 persen.
The Fed bersama dengan lima bank sentral lainnya juga memastikan suplai dolar AS tersedia di seluruh dunia melalui jalur swap. Kelima bank sentral itu yakni Kanada, Inggris, Jepang, Eropa, dan Swiss.(ttg/han/jpg)