JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mantan Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) yang menjadi tersangka kasus peredaran narkoba, Irjen Teddy Minahasa dijadwalkan menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polda Metro Jaya, Senin (17/10) hari ini. Seharusnya, Teddy menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Sabtu (15/10) lalu.
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan mengatakan, tersangka Itjen TM dijadwalkan menjalani pemeriksaan, Sabtu (15/10) siang oleh penyidik dari Dirnarkoba Polda Metro Jata. Awalnya pemeriksaan sempat berlangsung, namun belum sampai selesai, Teddy meminta pemeriksaannya diundur Senin (17/10) dengan alasan ingin didampingi oleh pengacaranya.
"Teddy seharusnya menjalani pemeriksaan di Mabes Polri, Sabtu (15/10). Namun yang bersangkutan menolak pemeriksaan lantaran ingin didampingi oleh kuasa hukumnya sendiri. Sehingga kami dari Polda Metro Jaya mengakomodir ini kemudian tidak melanjutkan pemeriksaan. Akan kita lanjutkan lagi Senin sesuai permintaan beliau," kata Zulpan, Ahad (16/10).
Dikatakan Zulpan, terdapat dua pelanggaran dalam kasus narkoba ini. Pertama, terkait dengan disiplin kode etik dan profesi. Di mana pelanggaran ini ditangani oleh Divisi Propam Mabes Polri. Kedua, terkait dengan adanya pelanggaran pidana kasus narkotika. Pelanggaran ini ditangani oleh Polda Metro Jaya. "Hingga saat ini Irjen TM masih ditempatkan di Patsus di Mabes Polri oleh Divisi Propam Mabes Polri," terang Zulpan.
Diketahui, Teddy Minahasa telah resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus peredaran gelap narkoba berdasarkan hasil gelar perkara pada Jumat (14/10) lalu. Penanganan kasus penyalahgunaan tindak pidana narkotika sendiri berjalan seiring atau paralel.
"Kemarin sudah disampaikan oleh Dirnarkoba Kombes Mukti Juwarsa bahwa hasil gelar perkara telah menetapkan Irjen TM sebagai tersangka dengan beberapa orang yang lain," jelasnya.
Teddy diduga menjadi pengendali penjualan narkoba seberat 5 kilogram. Keterlibatan Teddy terendus setelah tim dari Polrestro Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya menangkap sejumlah petugas polisi terkait peredaran narkoba. Atas perbuatannya, Teddy terancam Pasal 114 Ayat 3 sub Pasal 112 Ayat 2 Jo Pasal 132 Ayat 1 Jo Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman maksimal hukuman mati dan minimal 20 tahun penjara.
Sementara itu, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri menuturkan bahwa kejadian penangkapan Irjen Teddy Minahasa dapat diasumsikan adanya berbagai klik, subgroup, atau bahkan submabes. Yang akan bagus bila berkompetisi secara konstruktif. "Masyarakat yang menerima faedahnya," paparnya.
Namun, kalau justru membangun rivalitas dengan cara destruktif atau toxic, tentunya menjadi sangat berbahaya. Seolah-olah mereka sedang melakukan kebaikan dengan penegakan hukum terhadap oknum. "Tapi, yang sebenarnya terjadi praktik predatory, memangsa sesamanya," jelasnya.
Kondisi itu merusak kohesivitas organisasi, soliditas institusi menjadi terganggu. Hal tersebut jelas berdampak kepada masyarakat. "Yang merasakan kerugiannya tentu masyarakat," paparnya.
Dia menuturkan, secara psikologis motivasi dari Teddy menjual barang bukti narkotika bisa dua kemungkinan. Pertama, jual beli barang bukti sebagai cara mendapatkan harta. Alasan ini tipikal, karena merupakan subkultur penyimpangan di kepolisian. "Corruption by greed," ujarnya.
Untuk motivasi kedua, bisa jadi merupakan strategic model. Di mana aparat penegak hukum bekerja tidak murni untuk hukum. Melainkan, untuk kepentingan karir dari personel itu sendiri. "Mempahlawankan diri sendiri untuk membangun karier," jelasnya.
Kondisi itu sama artinya dengan masturbasi untuk mendapatkan promosi. Karena aparat menciptakan kasus dan diungkap sendiri. "Dikemas dengan bombastis, diliput media agar masuk radar pimpinan. Lalu, mendapat promosi karena berprestasi," tuturnya.
Masalahnya, bila yang dijebak ada bandit tidak akan masalah. Tapi, kalau yang menjadi sasaran rekayasa kasus itu orang baik-baik. "Ini namanya jahanam," tegasnya.
Komisi III DPR RI memberikan perhatian serius terhadap berbagai kasus yang terjadi di tubuh Polri. Anggota Komisi III DPR RI Aboebakar Alhabsy mengatakan, setelah kasus Sambo, Polri kemudian diterpa kasus yang menyeret nama Irjen Teddy Minahasa. "Ini menjadi pukulan telak untuk institusi Polri," terangnya.
Sekjen PKS itu menyatakan, kasus tersebut kembali menjadi prahara untuk kepercayaan publik terhadap Polri. Publik, kata Habib Aboe, pasti akan semakin ragu terhadap institusi Polri, melihat personelnya memperjualbelikan narkoba. Apalagi tindakan itu dilakukan oleh pejabat tinggi.
Dia menegaskan bahwa Presiden harus mengambil langkah serius untuk membersihkan institusi Polri dari para personel yang secara sengaja melanggar Tri Brata dan Catur Prasetya. "Sikap tegas Presiden diperlukan untuk mewujudkan amanah Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum," ungkapnya.
Secara strategis, kata Habib Aboe, Presiden perlu memformulasikan ulang reformasi Polri. Menurutnya, perlu ada pengawalan secara langsung dalam upaya menumbuhkan kepercayaan publik dan dunia internasional atas due proces of law di Indonesia.
Sedangkan secara teknis, lanjutnya, tak ada salahnya presiden memerintahkan tes urine secara menyeluruh untuk semua personel polisi di Indonesia, tanpa kecuali. "Ini adalah sebagai upaya untuk menunjukkan keseriusan Presiden dalam memberantas narkoba di dalam tubuh Polri sendiri," ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Koalisi Anti Mafia Tanah Iwan Nurdin meminta Kapolri untuk berani menyentuh indikasi keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam sejumlah kasus mafia tanah dan kejahatan perhutanan. Indikasi itu nampak dari pembiaran kasus-kasus tersebut. "Laporan masyarakat tidak cepat ditangani, sementara laporan perusahaan sangat cepat ditangani," ujarnya.
Laporan masyarakat sipil yang terkesan diabaikan itu di antaranya berkaitan dengan kejahatan pertanahan berupa perampasan tanah. Serta kejahatan pembalakan hutan, khususnya di Papua, Kalimantan dan Sumatera. "Mestinya Kapolri menyentuh persoalan itu (pertanahan dan perhutanan, red) dan menanganinya secara transparan seperti kasus Sambo, Kanjuruhan dan Teddy," ujarnya.
Menurut Iwan, penanganan kasus pertanahan dan kehutanan selama ini erat dengan ‘permainan’ oknum aparat. Modusnya hampir sama dengan kasus Ferdy Sambo. Yakni merekayasa kasus dan menghilangkan atau memanipulasi barang bukti.
"Situasi itu seperti membuktikan tentang perilaku kepolisian dalam menangani kasus-kasus pidana," papar ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tersebut.
Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia Lina Miftahun Jannah upaya sederhana yang bisa dilakukan kepolisian untuk meningkatkan indeks kepercayaan adalah membangun image. ’’Orang jadi percaya kembali jika image-nya baik,’’ katanya.
Untuk membangun image yang baik itu, kepolisian harus memberikan hasil kinerja yang baik di mata masyarakat. Lina mengatakan semua lembaga memiliki peraturan atau SOP dalam bekerja. Selama peraturan dan SOP itu dijalankan dengan baik, secara sendirinya kepercayaan masyarakat ikut terkatrol. Jangan malah sebaliknya, kepolisian sendiri melanggar aturan atau SOP-nya sendiri.
Kemudian Lina juga menyoroti SDM kepolisian yang selama ini sudah cukup terlena. Sampai Presiden Jokowi menyoroti kemewahan personel kepolisian. Dari mobil, motor gede, baju, sampai sepatu mewah. Lina mengatakan sebagai aparatur negara, aparat kepolisian harus bisa menampilkan gaya hidup sederhana. ’’Masyarakat sekarang sudah tahu gaji polisi itu berapa,’’ katanya.
Jadi ketika ada oknum kepolisian tampil dengan gaya hidup mewah, masyarakat bertanya-tanya. Dapat dari mana uangnya untuk bisa hidup mewah.
Seminggu, Barbuk Narkotika Wajib Dimusnahkan
Barang bukti (barbuk) narkotika diperjualbelikan sudah merupakan rahasia umum di kepolisian. Kondisi itu bukannya didiamkan, namun sudah ada langkah dari Bareskrim dengan mengeluarkan surat edaran nomor SE/1/II/Bareskrim dengan membatasi jumlah barang bukti hingga waktu pemusnahan narkotika.
Surat edaran tersebut dikeluarkan pada 15 Februari 2015, saat Bareskrim dipimpin Komjen Ari Dono Sukmanto. Dalam surat edaran tersebut mengatur batasan jumlah barbuk 16 narkotika dan waktu pemusnahannya. Untuk jenis Sabu hanya diperlukan satu gram barang bukti.
Dalam surat edaran tersebut juga diatur batas waktu pemusnahan barang bukti narkotika. Yakni, seminggu setelah kasus terungkap. Komjen Ari Dono Sukmanto saat itu memang sangat fokus mencegah barbuk narkotika disalahgunakan.
Sebenarnya surat edaran tersebut bukan hal baru saat itu. Sebab, surat edaran itu merujuk dan mempertegas kembali soal batas waktu pemusnahan barbuk narkotika yang telah diatur Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika.
Pada pasal 91 disebutkan bahwa setelah menerima pemberitahuan penyitaan barang bukti narkotika, Kepala Kejaksaan Negeri setempat wajib untuk menetapkan status barang sitaan untuk pembuktian perkara dan dimusnahkan.
Masih dalam pasal yang sama, disebutkan bahwa penyidik wajib memusnahkan barang bukti narkotika dalam tujuh hari setelah ditetapkan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul FIckar Hadjar mengatakan, barbuk narkotika itu memang seharusnya diambil sedikit saja untuk barbuk di pengadilan. "Selebihnya dimusnahkan di tingkat penyidikan," tegasnya.
Dengan batas waktu sepekan, maka dapat diartikan agar barbuk narkotika itu tidak disalahgunakan baik oleh penyidik atau siapapun yang memiliki akses terhadap barang bukti itu. "Kasus Teddy ini bukti nyata bahwa penegak hukum menyalahgunakan barbuk," paparnya.
Menurutnya, secara administratif pengawasan itu seharusnya dilakukan atasan. Namun, secara yuridis setiap orang bisa melaporkan oknum-oknum tersebut ke Divpropam atau Mabes. "Administratif dan yuridis," ujarnya.
Namun, cukup membingungkan bila yang menyalahgunakan barbuk itu kapolda. Menurutnya, kemungkinan proses dilakukan setelah pemeriksaan di tingkat bawah selesai. "Walau sebenarnya Pasal 91 itu sifatnya pencegahan," paparnya.(lum/tyo/idr/wan/ygi/jpg)