JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pengungkapan kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat masih diliputi misteri. Hingga kemarin (16/7), tim gabungan yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu dikabarkan belum bisa mengakses barang bukti.
Penyerahan barang bukti yang rencananya dilakukan Jumat (15/7) ternyata batal.
“Ini sebenarnya sudah bisa dibilang menghalang-halangi penyidikan. Tapi, saya tidak tahu apa yang menjadi tarik-ulur,’’ ujar seorang petugas yang ikut menangani kasus tersebut.
Dia menuturkan, penyerahan barang bukti itu seharusnya bisa diproses dengan cepat. Sebab, kasus ini menjadi perhatian publik.
Karena itulah, rencana konferensi pers yang sedianya diadakan pada Jumat (15/7) dibatalkan. Sebab, tidak ada bahan baru yang bisa disampaikan ke media. Hingga kemarin, tim gabungan hanya mendapatkan hasil olah TKP. Alat bukti lainnya masih minim. ’’Tim Inafis Mabes Polri yang datang melakukan olah TKP sudah menggunakan alat deteksi sidik jari dan DNA yang paling canggih, tapi tetap tidak menemukan apa-apa,’’ terangnya.
Menurut sumber Jawa Pos itu, ”bersih”-nya TKP justru membuka kemungkinan lain. Yakni, bisa jadi penembakan yang menewaskan Brigadir Yosua tersebut tidak terjadi di rumah Kadivpropam Polri Irjen Ferdy Sambo. ’’Saat kali pertama dilakukan olah TKP, darah terlalu bersih. Memang ada darah, tapi tidak umum untuk terjadinya sebuah baku tembak,’’ jelasnya.
Hanya terlihat kaca pecah, sejumlah lubang di tembok, dan Brigadir Yosua yang tertelungkup di ruang keluarga.
Apalagi, narasi pelecehan yang berujung baku tembak minim bukti. Sejauh ini hanya ada TKP yang keotentikannya mulai diragukan. Sebab, ada jeda waktu dari kejadian pada Jumat (8/7) hingga diumumkan ke publik dan mulai mendapat sorotan pada Senin (11/7).
Narasi baku tembak itu tidak dipercayai begitu saja oleh publik karena tidak dilengkapi bukti pendukung. Misalnya, soal Ferdy Sambo yang disebut tidak berada di rumahnya saat kejadian. Polisi menyebut Ferdy Sambo sedang menjalani tes PCR. Namun, tidak pernah jelas di mana Ferdy Sambo menjalani tes PCR dan rekam datanya masuk aplikasi PeduliLindungi atau tidak. Narasi itu dijabarkan sepihak tanpa penjelasan berbasis scientific crime investigation.
Apalagi, hingga kemarin belum jelas keberadaan handphone milik Brigadir Yosua. Rekaman CCTV pada saat kejadian pun hingga kemarin belum jelas. Kabarnya, rekaman itu disimpan di Propam Mabes Polri. ”Dan janggalnya, hingga kemarin belum bisa diakses tim gabungan,” ungkapnya.
Hambatan dalam penanganan kasus itu diperkuat dengan pembatalan rapat analisis dan evaluasi (anev) yang sejatinya dilakukan tim khusus kemarin pukul 14.30. Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo membenarkan bahwa rapat anev internal tersebut batal. Menurut dia, pembatalan anev dilakukan karena tim khusus ingin berfokus dalam upaya penyelidikan. ”Fokus kerja tim dahulu,” tegas mantan Kapolda Kalimantan Tengah dan Karopenmas Divhumas Polri tersebut.
Pengamat kepolisian Bambang Rukminto menuturkan, inilah pentingnya seharusnya Irjen Ferdy Sambo lebih dulu dimutasi atau dicopot. Dengan begitu, tidak terjadi hambatan dalam penyelidikan dan penyidikan. ”Agar tidak terjadi tabrakan kepentingan dalam menangani kasus,” katanya.
Kalau terus seperti ini, lanjutnya, sudah dapat dikategorikan terjadinya obstruction of justice, menghalang-halangi penyelidikan. Dengan obstruction of justice tersebut, sebenarnya sudah sangat kuat alasan bagi Kapolri untuk mencopot Irjen Ferdy Sambo. ”Masak Divpropam yang polisinya polisi itu menghalangi kinerja polisi. Menyedihkan,” ujarnya.
Pada bagian lain, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menuturkan, seharusnya siapa pun itu, termasuk Divpropam Polri, taat pada hukum. ”Baik penyelidikan yang dilakukan tim khusus maupun dari kepolisian,” katanya.
Bila tidak kunjung kooperatif, lanjutnya, ada dua jalan yang bisa ditempuh. Yakni, upaya paksa penyitaan dan pidana terhadap oknum yang menghalangi petugas. ”Kalau itu dilakukan, Kapolri pasti mendapat dukungan masyarakat luas,” jelasnya kemarin.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman