RUU CIPTAKER

Mengacu UMP, Upah Buruh Terancam Turun Drastis

Nasional | Senin, 17 Februari 2020 - 17:01 WIB

 Mengacu UMP, Upah Buruh Terancam Turun Drastis
UPAH BURUH: Pekerja saat mengecat tembok pembatas fly over Antasari, Jakarta, Senin (9/12/2019).(Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang diinisiasi pemerintah sudah diserahkan ke DPR. Bersamaan dengan itu pula, naskah RUU tersebut beredar luas ke publik. Polemik mencuat. Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak omnibus law tersebut.

Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan, pihaknya tidak mau duduk bersama pemerintah untuk membahas regulasi tersebut. Alasannya, RUU Ciptaker, khususnya terkait dengan klaster ketenagakerjaan, sangat merugikan pekerja. ’’Kami tidak bertanggung jawab atas satu pasal pun dalam RUU ini,’’ kata Said Iqbal kepada wartawan di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta Pusat, kemarin (16/2).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Said Iqbal menyebut sembilan alasan yang memicu penolakan pada omnibus law RUU Ciptaker. Di antaranya, hilangnya upah minimum yang diganti per satuan waktu. ’’Ketika upah dibayarkan per jam, otomatis upah minimum hilang,’’ jelasnya. Dalam RUU Ciptaker, upah minimum hanya didasarkan pada upah minimum provinsi (UMP). Artinya, upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) akan hilang. Padahal, UMP tidak dibutuhkan karena upah pekerja di kabupaten/kota mengacu pada UMK.

Dia memberikan contoh Provinsi Jawa Barat (Jabar). UMP Jabar 2020 sebesar Rp 1,81 juta. Angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan UMK di semua kabupaten/kota di Jawa Barat. Kabupaten Karawang, misalnya. UMK 2020 Karawang mencapai Rp 4.594.324. Lalu, Kota Bekasi Rp 4.589.708 dan Kabupaten Bekasi Rp 4.498.961. ’’Jika yang berlaku hanya UMP, upah pekerja di kabupaten/kota di Jabar akan turun drastis,’’ ujarnya.

Penolakan lain berkaitan dengan longgarnya aturan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada buruh. Dalam draf omnibus law RUU Cipta Kerja, poin tentang PHK diatur dalam pasal 150–152. Dalam pasal (1) disebutkan, pemutusan hubungan kerja dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh. Bandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 151 disebutkan, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. ’’Jadi jelas sekali, aturan PHK di UU Ketenagakerjaan sangat ketat. Sedangkan RUU Ciptaker sangat mudah mengobral PHK,’’ jelas Iqbal.

Pihaknya juga menyoroti hilangnya pesangon korban PHK, outsourcing yang dibebaskan, pegawai kontrak seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, tenaga kerja asing (TKA) unskill yang berpotensi bebas masuk Indonesia, hilangnya jaminan sosial, dan hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memenuhi hak pekerja.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar S. Cahyono menambahkan, hukum ketenagakerjaan harus mengandung tiga prinsip. Yaitu, kepastian pekerjaan (job security), kepastian pendapatan (salary security), dan kepastian jaminan sosial (social security). Namun, dalam RUU Cipta Kerja, tiga unsur tersebut sama sekali tidak tecermin. ’’Tidak ada kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan jaminan sosial atas pekerja,’’ paparnya.

KSPI akan mengawal ketat pembahasan RUU Ciptaker. Bahkan, mereka mengancam untuk melakukan demonstrasi yang lebih besar daripada aksi 20 Januari lalu. ’’Kami akan datang ke gedung DPR secara bergelombang dari seluruh daerah. Bukan tidak mungkin buruh akan menghentikan produksi sampai DPR menghentikan pembahasan,’’ ancamnya.

Terpisah, Wakil Presiden Ma’ruf Amin tidak mempersoalkan polemik di masyarakat terkait dengan omnibus law yang dinilai merugikan tenaga kerja. ’’Saya kira memang harus keluar di publik,’’ katanya di sela kunjungan kerja di kompleks Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama kemarin.

Ma’ruf menyatakan, draf RUU Ciptaker memang sebaiknya dibuka untuk publik. Dengan begitu, masyarakat bisa ikut menanggapi dan terlibat dalam pembahasan di DPR. Dia menegaskan bahwa pembahasan akan terbuka.

Ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu berharap prinsip-prinsip dalam RUU Ciptaker bisa dipahami masyarakat. Bukan hanya soal teknis. Dia mengatakan, ketentuan prinsip dalam RUU Ciptaker adalah mempermudah usaha di Indonesia. Kemudian, menghilangkan birokrasi yang rumit. ’’Aturan-aturan yang selama ini menghambat harus kita hilangkan. Jadi, dalam rangka perbaikan. Intinya (RUU Ciptaker, Red) perbaikan,’’ jelasnya.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Deslina









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook