SOAL RUU KPK

Busyro: Bukan Lagi Pelemahan, melainkan Pembunuhan

Nasional | Senin, 16 September 2019 - 20:50 WIB

Busyro: Bukan Lagi Pelemahan, melainkan Pembunuhan
Busyro Muqoddas. (Dipta Wahyu/Jawa Pos)

BANYAK pihak yang sangat menyesalkan pembahasan RUU KPK. Salah satunya adalah mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Berikut obrolan wartawan Jawa Pos Hasti Edi Sudrajat dengan pria yang kini menjabat ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM tersebut saat menghadiri seminar advokasi hukum di gedung PWM Jatim, Sabtu (14/9).


Bagaimana Anda menyikapi sulitnya situasi KPK saat ini?

Wacana RUU KPK simultan dengan pembentukan pansel (panitia seleksi) calon pimpinan KPK. Amburadulnya sudah kelewat batas. Itu tanggung jawab presiden. Baru kali ini KPK berada di ujung tanduk. Dipimpin oleh polisi aktif. Dulu memang ada Pak Bibit (Bibit Samad Rianto). Namun, posisinya sudah pensiun. Statusnya pun bukan ketua KPK. Mengapa saya bilang pembentukan pansel amburadul? Karena itu hanyalah produk istana. Usulan koalisi.

Apakah pemerintah melakukan pelemahan terhadap KPK?

Lebih dari itu. Bangsa ini terbiasa dengan sesuatu yang samar. Harus dipertegas. Ini bukan lagi pelemahan. Melainkan sudah mengarah ke pembunuhan. Presiden seharusnya menolak usulan pasal yang diajukan DPR. Nah, sekarang ada tiga poin yang disetujui. Jika diteliti lagi, dampaknya sangat fatal. KPK dibunuh secara smooth. Pakai kursi listrik. Lama-lama mati.

Munculnya dewan pengawas, misalnya. Mereka semua itu elite partai politik. Tidak bisa jauh dari elite bisnis. Rasionalitasnya tidak bisa ditangkap dengan akal sehat. Kesimpulannya apa? Presiden ini tega. Main-main dengan aturan. Seakan-akan publik bodoh. Dia lebih mendengar suara di sekitarnya.

Komentar mengenai terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK?

Firli saat mendaftar sebagai pimpinan KPK pasti seizin Kapolri. Dia kan masih (polisi) aktif. Kapolri juga orang pintar. Profesor. Mestinya jujur. Ada iktikad baik. Wujudnya bagaimana? (Kapolri sepatutnya) tanya dong ke KPK. Bagaimana track record-nya. Pasti ada jawaban dia (Firli) pernah diperiksa. Selevel deputi, melanggar kode etik kategori berat. Mengapa diizinkan?

Pimpinan KPK saya rasa sudah lumayan. Mau mengumumkan pelanggaran yang dilakukannya. Walaupun memang terlambat. Itu seharusnya menjadi pertimbangan bagi Kapolri. Beliau jelas punya otoritas menarik.

Dengan terpilihnya dia (Firli), potensi konflik sekarang lebih gede. Dulu kami pernah mengembalikan brigjen ke Mabes Polri karena bermasalah. Menjadi pembocor. Tinggal nangkap, dia izin atasan. Target akhirnya lolos. Sakit sekali rasanya.

Masih optimistis KPK bertaring?

Tentu. Di dalam kamus hidup saya tidak ada kata pesimis. Ingat, di KPK sekarang ada sejumlah pegawai yang sudah bertahun-tahun. Mereka sempat beberapa kali menghadapi situasi kritis di tubuh KPK. Jangan disepelekan.

Lihat Febri (Kabiro Humas KPK Febri Diansyah). Pendidikannya di era kami dulu tidak setengah-setengah. Titip ke Kopassus. Dua bulan di Lembang, Bandung Barat, Jabar. Militan jadinya. Ada juga pegawai perempuan. Mentalnya sudah seperti laki-laki.Untuk pemimpin baru, mohon berpikir kembali. Mau meneruskan atau stop. Harus sadar. Beberapa nama yang muncul dalam proses seleksi sebenarnya punya kapasitas, tetapi kandas semua. Misalnya, Laode M. Syarif dan Giri Suprapdiono. Apa alasannya? Tanya ke pansel.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook