JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pakar hukum Universitas Indonesia Dr Teddy Anggoro mengatakan sejak 2017 Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sudah melakukan serangkaian perbaikan regulasi perizinan. Regulasi dalam bentuk peraturan di level Kementerian sejak periode 2015-2017 telah banyak sekali dipangkas.
“Nah, Presiden itu memberikan perintah langsung untuk memangkas 50 persen dari 42.000 regulasi yang ada. Dari 2015-2017 ada 427 regulasi yang dibatalkan. Kemudian melalui paket kebijakan ekonomi I-XV sejauh ini telah ada 213 Peraturan yang dideregulasi meliputi pencabutan, revisi, dan pembentukan regulasi baru. Untuk peraturan daerah itu ada 3.143 regulasi yang dibatalkan. Jadi sebenarnya hambatan regulasi ini sudah coba diperbaiki oleh pemerintah tapi baru level UU ke bawah,” kata Teddy dalam diskusi virtual bertema Menyederhanakan Hambatan Regulasi di Indonesia, Jumat (15/5/2020).
Namun menurut Teddy, lagi-lagi proses perbaikan regulasi itu masih terbentur ego sektroal antar Kementerian. Oleh karena itu yang muncul di pikiran pemerintah saat ini adalah dengan mengubah UU-nya langsung di tingkat atas.
“Puncaknya saat pelantikan periode kedua pada 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi menyebut dengan lugas akan melakukan Omnibus Law sebagai langkah untuk perbaikan regulasi perizinan. Presiden menyebut dua UU besar yang akan menjadi regulasi hasil Omnibus Law yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM,” kata Teddy.
Dosen Fakultas Hukum UI ini menjelaskan Omnibus Law sebagai suatu cara atau metode pembentukan produk hukum bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Teddy mencontohkan penerapan metode Omnibus Law yang sebelumnya sudah pernah dilakukan dalam pembentukan suatu regulasi.
Menurutnya penerapan omnibus law dari dulu sudah ada. Misalnya UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang sifatnya mencabut UU Nomor 5/1962 tentang perusahaan daerah, mencabut Pasal 157, Pasal 158 ayat 2-9 dan Pasal 159 UU Nomor 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, mencabut pasal 1 angka 4, pasar 314-412, pasal; 418-421 UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
“Ada juga UU Ketenagakerjaan No.13/2003 yang sekarang diribut-ributin itu juga mencabut beberapa regulasi sebelumnya seperti UU No.28 tahun 2000,” jelas Teddy.
Ditambahkannyam “Nah ini kan orang banyak berdebat mengenai omnibus law. Kalau saya bilang tidak ada yang salah dari Omnibus Law ini. Karena omnibus law itu kan cara atau metode untuk membentuk suatu UU. Jadi jangan dipermasalahkan tentang Omnibus Law. Kalau orang bicara Omnibus Law itu adanya di common law sistem, tidak dikenal di civil law sistem, sekarang mana ada sistem hukum yang imun dari pembauran atau masuknya sistem hukum lain,” tambah Teddy.
Teddy menyarankan sebaiknya DPR RI melanjutkan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurutnya, pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja penting untuk dibahas segera sebagai upaya pemulihan pasca Covid-19.
“Saya pribadi sebenarnya tidak setuju kalau DPR disuruh berhenti membahas. Saya bilang, saya ini bayar pajak, jujur saja saya sempat sesak karena saya harus membayar Rp 20 juta sekian. Dan saya tidak ikhlas kalau misalnya uang pajak saya tidak dimanfaatkan dengan baik. Karena saya mulai berpikir bagaimana pasca covid. Apa yang harus kita lakukan. Terus dengan regulasi yang sekarang ada itu jelas tidak sanggup. Jadi jangan dibiarkan DPR itu dikasih tugas hanya mengawasi dana covid jangan. Kalau saya pikir dia harus kerja,” tutup Teddy.(rls/egp)