AGAM (RP) - Jauh sebelum masyarakat dunia ribut dengan potensi global warming (pemanasan global), anak nagari di pinggiran Danau Maninjau telah berupaya menyelamatkan alam, dengan mewajibkan pasangan yang akan menikah menanam pohon. Seperti apa kondisi pohon yang telah ditanam itu?
Kesepakatan warga Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumbar, setiap pasangan yang akan menikah, wajib menanam sedikitnya lima batang pohon di kebun milik keluarga mereka.
Pohon yang ditanam tersebut, tidak boleh ditebang tanpa alasan yang jelas.
Walau kewajiban menamam pohon -untuk pasangan yang akan menikah- baru diterapkan pada 2005 lalu, namun kesepakatan ini telah dipatuhi nagari berpenduduk 822 KK atau 3.354 jiwa yang mendiami areal seluas 1.832 ha (sensus 2010) itu, sejak 150 tahun silam.
Walau tak kenal konsep Lumbung Energi Hijau (LEH) yang MoU-nya ditandatangani Pemprov Sumbar bersama Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM di Jakarta pada Selasa (7/5) lalu, konsep tersebut telah diaplikasikan warga Koto Malintang.
Kesepakatan warga di atas areal hutan rakyat seluas lebih kurang 300 ha dan hutan negara sekitar 500 ha itu, telah kini telah tumbuh ribuan jenis pohon. Rata-rata, kayu di kawasan itu memiliki diameter lebih dari 1 meter. Jumlahnya mencapai ribuan batang.
Salah satu pohon yang cukup istimewa yaitu Kayu Binu dengan jenis Madang (Litsea sp) yang berada pada kelas III jenis kayu-kayuan. Kayu Binu yang tumbuh di pinggir sebuah anak sungai (dikenal dengan Banda Koto) itu, sesuai pengukuran tim Dinas Kehutanan Agam, kelilingnya mencapai angka 11,4 meter. Sementara, volumenya diperkirakan mencapai 200 meter kubik.
“Pohon yang tumbuh di hutan rakyat Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya itu, diameter sekitar 3,63 meter. Kelilingnya mencapai 11,4 meter yang diukur dari baniea pohon, bukan dari bawah dekat tanah,” ungkap Kabid Kehutanan pada Dinas Kehutanan Agam, Ir Afniwirman kepada Posmetro (RPG), Rabu (15/5).
Klaim yang ada saat ini, kayu terbesar di Indonesia yakni jenis Ulin yang tumbuh di Taman Nasional Kutai (TNK) di Kabupaten Kutai Timur. Kayu itu memiliki diameter 2,47 meter dengan ketinggian sekitar 20 meter.
Peneliti dari Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Profesor Nengah Wirawan mengakui, Kayu Ulin ini diperkirakan paling tua di dunia, berumur lebih kurang 1.000 tahun. Kayu ini ditemukan pertama kali pada 1993 lalu oleh petugas TNK.
Wali Nagari Koto Malintang, Naziruddin Dt Palimo Tuo menyebut, Kayu Binu ini tumbuh di kebun miliknya. Dt Palimo Tuo mengaku, pernah melakukan pengukuran dengan berdiri sambil merentang tangan empat orang rekan.
“Belum sampai setengah dari kayu Binu ini bisa kami dekap,” ungkap Dt Palimo Tuo mengilustrasikan diameter kayu tersebut.
Kayu Binu ini tumbuh pada kemiringan sekitar 30 derajat. Kayu setinggi 20 meter yang bebas dari cabang dan ranting itu, tampak masih tumbuh dengan subur. Keberadaannya masih dijaga warga secara ketat terutama oleh suku Piliang Dt Mako Indo Nagari Koto Malintang.
“Walau kayu Binu ini biasa digunakan untuk membuat rumah, namun izin penggunannya harus melalui tujuh pihak yakni pemilik lahan, mamak rumah, datuak, wali jorong, penghulu, Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan wali nagari. Mungkin, izin yang berlapis tujuh ini yang membuat kayu-kayu di parak (sebutan warga untuk hutan itu, red) bisa tumbuh hingga sebesar ini,” nilai Dt Palimo Tuo.
Saat ini, warga telah bersepakat, kayu yang ada di parak itu, tidak boleh ditebang sama sekali. Karena, warga meyakini, kalau pohon-pohon ini tidak dijaga keberlangsungannya, aliran air di sejumlah anak sungai yang ada di kawasan itu bisa jadi kering. Ini tentu akan mengganggu debit air yang akan mengairi sawah penduduk.
“Jika kayu-kayu di parak itu ditebangi secara tak terkendali, sumber air bersih bagi warga akan terganggu. Dengan adanya kayu-kayu di parak ini, lihat lah betapa jernihnya air yang mengalir di kampung kami ini,” ungkap Dt Palimo Tuo.
Untuk menuju hutan ini, harus ditempuh dengan jalan kaki. Jaraknya sekitar 2,5 Km dari tepi jalan raya Maninjau-Bukittinggi atau sekitar 25 kilometer dari pusat Ibu Kota Kabupaten Agam, Lubuakbasuang.
Dengan menaiki kendaraan menuju Kantor Wali Nagari Koto Malintang sekitar 1 Km, lalu berjalan kaki sejauh lebih kurang 350 meter. Lalu melewati jalan setapak yang masih berupa tanah, selama 15 menit perjalanan arah ke barat Danau Maninjau.
Di ujung jalan itu, ada sebuah pondok peladang milik Irzal Kari Marajo (46). Setiap warga yang datang, Kari Marajo akan dengan suka cita, menujukkan lokasi pohon kayu yang diperkirakan diameternya akan memecahkan rekor kayu terbesar di Indonesia tersebut.
“Kayu ukuran 1 meter hingga 2 meter, jumlahnya ribuan dari aneka jenis pohon. Semua kayu di parak ini, tidak boleh ditebang sama sekali oleh siapapun, meskipun itu oleh pemilik dan tumbuh di tanahnya sendiri,” terang Kari Marajo.
Diyakini, sumber air Danau Maninjau, salah satunya berasal anak sungai yang mengalir dari arah hutan nagari Koto Malintang ini. (ade)