Laporan Nenengsih, Solsel
Sejarah mencatat, Nagari Bidaralam, Kecamatan Sangirjujuan, Kabupaten Solok Selatan, pernah menjadi Ibu Kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 1949 yang dipimpin Mr Syafruddin Prawiranegara.
Melalui stasiun radio di Bidaralam rombongan Mr Syafruddin berhasil melakukan kontak dengan New Delhi, untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih berdiri. Sayangnya, bangunan-bangunan yang menjadi saksi sejarah di Bidaralam kini makin merana, tak terawat.
Saat agresi militer Belanda II, PDRI merupakan kelanjutan pemerintah RI yang berpusat di Jogjakarta, karena Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta sudah ditawan Belanda.
Awal 1949 Bidaralam sempat menjadi pusat konsolidasi kekuatan PDRI yang dipimpin Mr Syafruddin.
Bidaralam merupakan tempat terlama yang disinggahi rombongan Syafruddin, yakni 3,5 bulan. Selama berada di Bidaralam, masyarakat setempat bahu-membahu memberikan rasa aman kepada rombongan Syafruddin yang sedang ‘’menyambung nyawa’’ republik ini.
Saat itu, seorang tokoh masyarakat Bidaralam, Khatib Jamaan (alm) dipercaya sebagai Komandan Kompi Badan Pengawal Nagari dan Kota atau BPNK.
Kepada RPG, Khatib Jamaan pernah menceritakan bahwa masyarakat Bidaralam waktu itu suka cita menyambut kedatangan rombongan Sayfruddin.
Rumah warga disediakan sebagai markas. BPNK beserta pemuda setempat berjaga malam atau ronda. Mereka juga bersama-sama mencari bekal seperti beras, sayuran hingga ke Kerinci, Jambi dan Muaralabuh.
‘’Barang-barang tersebut diangkut dengan kuda beban, dan sebagian dipikul sendiri,’’ ungkap Khatib Jamaan kala itu.
Rumah warga yang menjadi markas Ketua PDRI adalah rumah milik Jama. Rumah gadang tersebut juga menjadi tempat sidang kabinet PDRI tahun 1949.
Ada pula surau Bulian yang dijadikan sebagai stasiun pemancar radio PHB/AURI yang merupakan media bagi Syafruddin untuk berhubungan dengan pusat PDRI di Kototinggi, serta anggota-anggota PDRI di Jawa dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menyampaikan radiogram PDRI hingga ke luar negeri.
Di pedalaman Bidaralam itulah, meski sederhana dan bersahaja, pemerintahan darurat berhasil dijalankan. Melalui stasiun radio PDRI, dari Bidaralam Syafruddin berhasil melakukan kontak dengan New Delhi, India, untuk menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih berdiri.
68 tahun berlalu, bangunan yang menjadi saksi sejarah PDRI kini sangat memprihatinkan. Tak lagi sehebat sejarahnya. Kondisi bangunan bersejarah itu tampak tidak terawat.
Seperti rumah gadang milik Jama yang pernah menjadi markas Ketua PDRI. Sebagian dinding rumah tersebut papannya sudah banyak yang lepas. Sehingga angin dengan leluasanya menyelinap ke dalam.
Rumah Jama kini ditempati oleh cicitnya, Eva Vismadewi bersama suami dan seorang anaknya. Eva menuturkan rumah tersebut pernah direhab pada 2008, dari bantuan Menteri Sosial kala itu.
Setahu Eva, dananya rehabnya lebih dari Rp200 juta. Namun, entah alasan apa dengan dana sebanyak itu yang terganti hanyalah atap dan ukiran dinding bagian luar. Sepintas, markas PDRI tersebut nyaris tak ada sentuhan.
‘’Ndak sampai 50 persen yang direnovasi. Ikolah modenyo,’’ kata ibu satu anak itu sambil menunjuk ke arah dinding bagian atas yang nampak ternganga.
Menurut Eva, dalam setahun tidak kurang dari tiga kali rumah PDRI itu dikunjungi. Para pengunjungnya macam-macam. Ada yang mengaku dari pusat, dari provinsi, dan dari kabupaten. Janjinya pun beragam. Ada yang bilang akan dibangun pagarnya, akan direhab dan sebagainya. Tapi kunjungan hanya tinggal kunjungan.
‘’Tak ada bekas peninggalan PDRI di dalam rumah,’’kata Eva. Ia menambahkan, tempat tidur Ketua PDRI pun kini sudah dipindahkan ke gudang. Kondisinya tak layak pakai, sudah patah dan berkarat.
Tokoh masyarakat yang juga mantan Wali Nagari Bidaralam Ali Sabri Abbas menyayangkan tak adanya perhatian dari pemerintah terhadap bangunan sejarah PDRI.
Padahal, setiap Hari Pahlawan, 17 Agustus dan momen lainnya, selalu ada yang datang ke Bidaralam untuk melihat-lihat bangunan sejarah PDRI. Kesannya hanya seremonialnya saja. ‘’Dari dulu-dulu kondisinya seperti itu-itu juga. Tak ada sentuhan. Biaya perawatannya yang tidak ada,’’imbuhnya.
Beberapa meter dari depan Markas PDRI terdapat bangunan yang dulunya stasiun radio AURI. Bangunan berlantai dua tersebut kini digunakan sebagai Taman Pendidikan Alquran (TPA).
Nasibnya sama seperti markas PDRI. Seperti bangunan yang telah lama ditinggal pemiliknya. Tak berpagar, tak ada tanda-tanda istimewa.
Begitupula Masjid Mr Syafruddin Prawiranegara, pembangunannya nyaris terbengkalai .’’Kalau nunggu pemerintah ya ndak selesai-selesai. Sekarang ini, kelanjutan pembangunan masjid mengandalkan partisipasi dari masyarakat,’’kata Ali.(ade)