JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Perubahan sistem pendidikan selalu memantik pro-kontra. Begitu pula dengan kebijakan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menghapus ujian nasional (UN). Meski demikian, Nadiem menegaskan tetap jalan terus. Pengembangan asesmen, perbaikan fasilitas, dan pembekalan guru dipersiapkan setahun mendatang.
Dukungan datang dari Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. Dia menyebut kebijakan yang dicetuskan Nadiem luar biasa. Selama ini Huda mengaku resah dengan adanya UN. Sebab, UN tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dan mutu pendidikan tanah air.
"Dari awal kami mendukung UN dihapus, tapi harus ada skema grand design blueprint yang lebih sempurna," kata Huda.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Prof Said Hamid Hasan menyatakan, keputusan menghapus UN merupakan langkah awal yang baik. Asesmen kompetensi minimal dan survei karakter yang menggantikan UN bisa menjadi instrumen untuk mendeteksi kelemahan siswa. Sekaligus upaya perbaikan agar mencapai standar kompetensi yang diharapkan.
"Dengan begitu, ketika siswa sudah menuntaskan pendidikan dan menjadi warga negara produktif, bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang berkualitas," terang Said.
Lagi pula, belajar itu bersifat akumulatif. Jika kelemahan tidak segera diperbaiki atau tidak ada waktu untuk memperbaiki, akan terjadi akumulasi. Akibatnya, siswa yang lemah akan kesulitan, bahkan tidak optimal belajar materi baru. "Mereka akan ditinggalkan dalam ketidaktahuan yang terus berakumulasi," ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, Nadiem memutuskan menghapus UN mulai 2021. Dalam skema baru pengganti UN nanti, pelaksanaan ujian tidak lagi di ujung jenjang pendidikan. Tetapi di tengah-tengah. Untuk jenjang SD digelar di kelas 4, jenjang SMP di kelas 8, dan jenjang SMA di kelas 11.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendukung kebijakan Nadiem. Dia meyakini, sebelum kebijakan tersebut diambil, Nadiem sudah melakukan kalkulasi. Jokowi mengatakan, sistem asesmen kompetensi dan survei karakter yang dicanangkan Nadiem dapat dijadikan instrumen untuk mengevaluasi kualitas pendidikan di Indonesia.
"Artinya, mau tidak mau, nanti setiap sekolah ada angka-angkanya," imbuhnya. Yang angkanya di bawah grade, kata dia, pemerintah akan melakukan perbaikan dan "diinjeksi" sesuai kekurangannya. Dengan begitu, bisa dinaikkan levelnya sesuai standar. "Akan kelihatan sekolah mana yang perlu disuntik," kata mantan Wali Kota Solo itu.
Soal teknis penanganan terhadap sekolah dan guru, dia menilai kebijakannya ada di pemerintah. Bentuknya pun tergantung dari perhitungan Kemendikbud. "Bisa saja nanti, misalnya, perhitungan kemendikbud seperti apa, guru ditarik lagi ke pusat. Bisa saja dilakukan," tuturnya.
Sementara itu, tidak semua anggota DPR mendukung keputusan Nadiem menghapus UN. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR kemarin, Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Sudewo menyatakan tidak setuju keputusan meniadakan UN. Menurut dia, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter adalah instrumen yang belum teruji. "Jangan sampai ada satu gagasan demikian yang seolah-olah ini bagus, tapi implementasinya justru kontraproduktif. Lebih buruk dari UN," ungkap Sudewo.
Dia juga menyanggah pendapat Nadiem mengenai UN yang hanya menilai aspek kognitif. Menurut dia, UN justru bisa menggambarkan kemampuan seseorang. Karena itu, dia meminta Nadiem tidak hanya menyalahkan UN. Tataran teknis pelaksanaan perlu dievaluasi. ”Bagaimana supaya UN tetap berjalan, tapi kompetensi penalaran bisa terimplementasi,” ujarnya.(han/mia/far/oni/jpg)