Pimpinan KPK, Menuai Kecaman Publik Sarat Nuansa Politik

Nasional | Jumat, 13 September 2019 - 17:13 WIB

Pimpinan KPK, Menuai Kecaman Publik Sarat Nuansa Politik
Mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri terpilih sebagai Ketua KPK jilid V.(Dery Ridwansah/JawaPos.com)

JAKARTA (RIAUPOS.CO)– Komisi III DPR RI telah menetapkan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk periode 2019-2023. Mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri terpilih sebagai Ketua KPK jilid V.

Irjen Firli Bahuri ditetapkan sebagai Ketua KPK berdasarkan hasil voting suara tertinggi. Firli memperoleh 56 suara. Berturut-turut setelahnya ada Alexander Marwata dengan 53 suara, Nurul Ghufron dengan 51 suara, Nawawi Pomolango dengan 50 suara, dan Lili Pintauli Siregar dengan 44 suara.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Meski sudah terpilih menjadi pimpinan KPK jilid V, beberapa di antaranya masih menjadi kontroversi. Publik menilai, proses pemilihan pimpinan KPK kali ini kental nuansa politik.

Kelima orang pimpinan KPK terpilih itu dipilih melalui voting Komisi III DPR RI. Hal ini dilakukan setelah 10 nama calon pimpinam KPK yang telah diserahkan Presiden Joko Widodo menjalani tahapan uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test.

Terdapat sejumlah argumen yang masih dipertanyakan dalam fit and proper test lima pimpinan KPK terpilih tersebut, di antaranya:

1. Irjen Firli Bahuri

Yang paling fenomenal, Irjen Firli ditetapkan sebagai pelanggar kode etik berat oleh KPK sehari sebelum menjalani fit and proper test di DPR RI. Irjen Firli diyakini melanggar etik pada Rabu (11/9).

Irjen Firli menjelaskan dugaan masalah etik yang dituduhkan kepada dirinya saat menjadi Deputi Penindakan KPK. Dugaan kode etik itu lantaran bertemu dengan TGB Zainul Majdi.

Pada 13 Mei 2018, dia mengakui bertemu dengan TGB saat masih menjadi Gubernur NTB. Pertemuan tersebut dilakukan di lapangan tenis dalam kegiatan Danrem.

Dia pun menyebut, saat itu TGB belum menjadi tersangka. Kasus Newmont itu, kata Firli, masih tahap penyelidikan dan masih proses audit kerugian negara.

“Mohon maaf, apa salah saya bertemu orang di lapangan tenis, bertemu bukan mengadakan pertemuan, di dalam Pasal 36 Pak, di situ disebutkan mengadakan hubungan dengan seseorang, tersangka atau pihak lain yang ada perkaranya di KPK. Saat saya bertemu dengan TGB, TGB ini bukan tersangka dan sampai hari ini belum pernah jadi tersangka,” jelas Firli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/9) kemarin.

Selain itu, soal masifnya operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Firli, jika KPK ingin fokus kepada terhadap penindakan, seharusnya lembaga antirasuah itu bisa mengembalikan kerugian negara. Caranya dengan melakukan penyitaan terhadap barang-barang hasil korupsi.

Dalam pandangan Firli, pengembalian kerugian negara menjadi faktor penting. Untuk itu mantan direktur penindakan KPK itu ingin membenahi lembaga antirasuah tersebut. Bagi dia, salah satu tujuan utama pemberantasan bukanlah melakukan penghukuman terhadap orang yang berbuat salah.

“Karena sesungguhnya tujuan penegakan hukum terhadap pemberantasan korupsi tidak hanya menghukum seseorang, memasukkan ke penjara,” ungkapnya.

2. Alexander Marwata

Alexander Marwata menilai bahwa pengumuman soal pelanggaran etik berat mantan Deputi Penindakan KPK, Irjen Firli Bahuri oleh pihak KPK tidak sah. Pengumuman tersebut dilakukan oleh koleganya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang melalui konferensi pers di Gedung Merah-Putih KPK, pada Rabu (11/9). Sebab, Firli sudah diberhentikan dengan hormat dari jabatan Deputi Penindakan KPK dan kembali ke institusi asalnya.

“Kalau yang tiga menyatakan berhenti dan yang satu masih terus berjalan bertentangan dengan apa yang dikehendaki ketiga pimpinan saya rasa itu ya tidak sah juga. Menurut pendapat saya,” ujar Alexander saat menjalani uji kepatutan dan Kelayakan di Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).

3. Nurul Ghufron

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini menginginkan adanya revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dalam sesi fit and proper test, Gufron mengaku menulis makalah terkait perlunya komisi antirasuah bisa mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Dalam makalahnya, Ghufron mengatakan, mekanisme penghentian penyidikan merupakan hal yang alami.

“Dalam makalah saya menyampaikan bahwa penghentian penyidikan itu adalah mekanisme yang alami. Dalam sebuah sistem. Itu tidak mesti setiap penyidikan akan berakhir dan menghasilkan berkas perkara berupa tuntutan dan pemeriksaan di sidang,” kata Ghufron di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (11/9).

Hal ini, kata dia, sama seperti sebuah penyidikan yang belum tentu menghasilkan kebenaran. Untuk itu, menurut Ghufron, sudah sewajarnya SP3 diterapkan dalam kerja KPK.

“Sehingga, di hadapan kami SP3 atau penghentian penyidikan itu adalah sistem yang niscaya, karena sistem peradilan pidana kita adalah sistem yang berbasis Pancasila, yang religius,” jelasnya.

4. Nawawi Pomolango

Hakim Pengadilan Tinggi ini secara terang-terangan mengritik Wadah Pegawai (WP) saat menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Komisi III DPR. Baginya, entitas itu tak punya dasar hukum dalam struktur Aparatur Sipil Negara (ASN). Baginya, WP KPK bak oposisi dalam struktur pemerintahan.

“Seakan-akan KPK mengawang-awang. Mereka berasa di awan-awan, kita yang buat seperti itu menjadi lembaga super,” ucap Nawawi di Kompleks DPR RI, Rabu (11/9).

Ia kemudian menuding KPK tebang pilih dalam menerapkan kasus pencucian uang. Hal itu ia sebut berdasarkan data Transparency International Indonesia (TII), bahwa KPK menerapkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap 15 dari 313 kasus korupsi yang ditanganinya.

“KPK seperti memilih-milih saja, yang mana dia pakai TPPU, yang mana enggak, yang mana wajah miskin, yang mana wajah kaya,” jelas Nawawi.

5. Lili Pantauli Siregar

Mantan Wakil Ketua LPSK ini merupakan satu-satunya perempuan dalam masa kepemimpinan KPK untuk periode 2019-2023. Lili Pintauli Siregar mengaku tak setuju adanya pembentukan Dewan Pengawas dalam revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK.

“Kalau Dewan Pengawas, saya tidak setuju. Karena berhubungan dengan teknis, karena teknis banget kalau saya lihat dari media bagaimana mungkin soal perizinan itu,” ujar dia saat fit and proper test di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (11/9).

Dalam revisi UU KPK, Dewan Pengawas bertugas untuk mengawasi pimpinan KPK. Selain itu, sebelum lembaga antirasuah melakukan penyadapan dan penyitaan harus meminta izin kepada Dewan Pengawas.

Di sisi lain, dia mengaku menyetujui salah satu usulan revisi, yaitu menyangkut dibolehkannya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Menurutnya, SP3 bisa dikeluarkan Komisioner KPK untuk memperjelas proses hukum seseorang.

“Saya setuju adanya SP3. Saya pikir ini menjawab kegelisahan mereka yang begitu lama jadi tersangka, rekeningnya terblokir, enggak bisa keluar negeri, usaha tidak berjalan, macet bank, ini bisa menjawab karena seharusnya pemberantasan korupsi tidak bikin macet hal lain,” jelas Lili.

Editor : Deslina

Sumber: Jawapos.com









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook