BANTUL (RIAUPOS.CO) – Setiap kali dari bepergian, Djoko Pekik selalu minta dilewatkan Malioboro untuk kembali menuju rumahnya. Dan, seperti hari-hari sebelumnya, kawasan legendaris di pusat Kota Jogjakarta itu pula yang dilalui sang maestro lukis tersebut yang kemarin (12/8) berpulang.
”Jadi, bapak itu kalau pergi ke mana saja, itu pasti pulangnya minta lewat Malioboro. Enggak peduli itu mau macet, harus lewat Malioboro,” ungkap Inten Lugut Lateng, anak ketiga Djoko Pekik. ”Beliau paling seneng lihat lampu-lampu di Malioboro,” sambungnya.
Kebiasaan itu yang oleh pihak keluarga tetap dijalankan ketika membawa jenazah Djoko Pekik dari RS Panti Rapih Jogjakarta menuju rumah duka di Bantul. Iring-iringan kendaraan juga sempat melewati rumah Djoko Pekik di Wirobrajan.
Dilansir dari Radar Jogja (JPG), seniman lukis senior Djoko Pekik meninggal dunia pada usia 86 tahun Sabtu (12/8) pagi. Djoko Pekik tidak menjalani perawatan sebelum meninggal. ”Baru tadi pagi (kemarin pagi, red) dibawa ke Panti Rapih dari rumah karena badannya anget dan muntah-muntah. Tapi, ternyata di perjalanan bapak meninggal. Jam 08.10,” jelas Inten saat ditemui di RS Panti Rapih.
Tiga pekan lalu, sang ayah sempat opname. Dia jatuh dan mengalami patah pada tulang tangan sebelah kiri. ”(Dirawat, red) di sini juga. Opname cuma dua hari, digips terus pulang,” paparnya.
Di rumah duka, putra pertama Djoko Pekik, Gogor Bangsa, menerangkan, ayahnya sakit karena memang sudah berusia lanjut. Untuk beraktivitas sehari-hari menggunakan kursi roda. ”Ya pada umumnya orang tua. Badannya bapak sudah melemah,” ujarnya.
Meski sudah sepuh, Djoko Pekik tetap produktif melukis. Tahun lalu dia masih menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta. ”Tahun 2022 bulan Maret itu adalah pameran tunggal bapak yang terakhir,” ungkapnya.
Kali terakhir, lanjut Gogor, ayahnya sempat melukis potret dirinya sendiri. Lukisan tersebut sudah laku dibeli kolektor. Gogor mengatakan, ada tiga sampai empat lukisan yang dibuat ayahnya pada tahun ini. ”Pokoknya pas awal tahun bapak itu masih aktif melukis,” ucapnya.
Kepergian Djoko Pekik yang terkenal dengan karyanya berjudul Berburu Celeng –yang laku hingga Rp1 miliar tersebut– tidak hanya meninggalkan kesedihan bagi keluarga, tetapi juga para seniman. Bukan hanya seorang maestro, Djoko Pekik telah dianggap sebagai orang tua sekaligus guru bagi para perupa. ”Dia guru, banyak mengajarkan orang berkeseniannya itu sandarannya benar. Artinya, kemanusiaan dikedepankan, dari proses berkesenian ada yang dibela dengan karyanya, yaitu masyarakat marginal,” tegas seniman lukis Jogja Nasirun.
Pelukis Bambang Herras memberikan pandangan serupa. Baginya, sosok Djoko Pekik adalah seniman sejati. Wujud keseniannya tak hanya hadir dalam sebuah karya, tapi juga hubungan baik dengan sesama manusia. Bentuk kepedulian paling nyata adalah adanya inisiasi gerakan sosial. Menyisihkan sebagian kecil hasil penjualan karya dalam komunitas bernama Suka Parisuka untuk kemudian disalurkan kepada seniman yang sedang membutuhkan bantuan.
Dalam karya-karyanya, Djoko Pekik hadir dengan goresan yang kritis. Terinspirasi dari pekikan kemarginalan masyarakat. Ciri khas itulah yang terwujud dalam beragam lukisannya dengan objek binatang celeng. ”Semangat-semangat inilah yang sewajarnya dilestarikan dan dijaga oleh para seniman generasi penerus setelah Pak Pekik,” tuturnya.
Pengamat seni dan budaya Bambang Paningron berharap semangat seorang Djoko Pekik tetap ada. Meski raganya telah kembali ke tanah, perjuangannya tetap menjadi inspirasi. Bukan hanya bagi para seniman, tapi juga kehidupan berkemanusiaan. ”Pak Pekik itu contoh atau potret seniman yang gigih tangguh dan banyak menginspirasi anak-anak muda sekarang ini. Semangatnya enggak pernah mati, enggak pernah patah, apa pun kondisinya,” kenang dia.
Pada 1998 nama seniman Djoko Pekik mengguncang jagat seni rupa Indonesia. Pada 16–17 Agustus tahun itu, dia memamerkan hanya satu buah lukisan dan dalam durasi 24 jam atau sehari semalam saja di gedung Bentara Budaya Yogyakarta. ”Hal yang lebih menghebohkan lagi, karya tersebut, yang bertajuk Berburu Celeng, berpindah ke tangan seorang kolektor dengan harga transaksi sebesar 1 miliar rupiah! Itulah harga tertinggi sebuah karya seni lukis di Indonesia pada waktu itu,” ucap salah seorang kurator seni rupa Kuss Indarto.
Pencapaian yang diperoleh Djoko Pekik pada waktu itu, ungkap Kuss, mengalahkan harga karya para seniman maestro yang lebih senior dan telah mengisi jejak penting sejarah seni rupa Indonesia. Misalnya Affandi Kusuma, Hendra Gunawan, S Sudjojono, dan Basoeki Abdoellah. ”Pada tahun-tahun itu harga karya para maestro itu baru sampai angka ratusan juta rupiah,” ucapnya.
Di mata Mikke Susanto, kurator Galeri Nasional Indonesia dan dosen ISI Jogja, Djoko Pekik telah menghadapi situasi yang pelik sepanjang hidupnya. Dia mengalami masa sulit selama masa awal kuliah di ASRI Yogyakarta yang serbakekurangan. Termasuk cita-cita sebagai pelukis di zaman profesi ini sama sekali tidak dianggap penting.(ayu/dwi/c9/fal/jpg)