JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) melaporkan penyelidikannya, Rabu (11/1). Sebanyak 12 kejadian di masa lalu akhirnya diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Negara pun berjanji akan memulihkan hak korban.
PHAM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Dalam diskusi yang dilakukan kurang lebih satu jam, Tim PPHAM serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyampaikan kejadian yang diduga masuk dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Sebelumya ada empat kasus yang dibuktikan ke Mahkamah Agung dan empat kasus itu dinyatakan tidak memenuhi bukti pelanggaran HAM berat. ''Penyelesaian KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) juga mengalami jalan buntu karena terjadi saling curiga di tengah masyarakat,'' kata Mahfud seusai pertemuan.
Dia menyatakan adanya PPHAM merupakan salah satu upaya membuka jalan untuk menyelesaikan kebuntuan. Tim ini diminta melakuka pemeriksaan dan penyelidikan ulang terhadap peristiwa masa lalu yang diduga mengandung unsur pelanggaran HAM berat.
Mahfud menjelaskan, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM Ad Hoc atas persetujuan DPR. Sedangkan yang terjadi sesudah 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa. ''Menurut Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, pelanggaran HAM berat itu harus diproses ke pengadilan tanpa ada kedaluwarsa, maka kami akan terus usahakan itu,'' ujarnya.
Dalam keterangannya, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi pada berbagai peristiwa di Tanah Air. ''Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,'' katanya.
Ada 12 peristiwa yang disebut Presiden Joko Widodo, yakni peristiwa 1965-1966 atau dikenal G30S/PKI, peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, dan peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Selain itu Jokowi juga menyebut Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
''Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,'' kata Kepala Negara.
Selain itu, Presiden Joko Widodo menambahkan, pemerintah akan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang berat pada masa yang akan datang. ''Saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menkopolhukam untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik,'' lanjutnya.
Dia berharap upaya pemerintah tersebut dapat menjadi langkah berarti dalam pemulihan luka sesama anak bangsa. ''Agar memperkuat kerukunan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,'' ucap Presiden Joko Widodo.(lyn/das)
Laporan JPG, Jakarta