Inflasi Tinggi, Kepercayaan Konsumen Turun

Nasional | Selasa, 11 Oktober 2022 - 12:19 WIB

Inflasi Tinggi, Kepercayaan Konsumen Turun
INFLASI (JPG)

Jakarta (RIAUPOS.CO)–Survei konsumen Bank Indonesia (BI) September 2022 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi menurun. Sejalan dengan perlambatan ekonomi akibat tingginya inflasi saat ini. Meski demikian, indeks keyakinan konsumen (IKK) masih terjaga di level optimistis (indeks >100).

IKK September 2022 tercatat sebesar 117,2. Angka itu lebih rendah jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di posisi 124,7. Penurunan tersebut dipengaruhi indeks ekspektasi konsumen (IEK) yang merosot dari level 137,7 ke 126,1.


Optimisme konsumen atas kondisi ekonomi saat ini juga tidak sekuat pada bulan sebelumnya. Terlihat dari indeks kondisi ekonomi (IKE) saat ini 108,3 dari 111,7 pada Agustus 2022.

Secara rata-rata, IKK selama kuartal III 2022 tercatat sebesar 121,7. Sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, 123,4. "Tapi lebih tinggi dari 112,4 pada kuartal III 2021," kata Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Junanto Herdiawan, Senin (10/10).

Pada September 2022, keyakinan konsumen yang tidak setinggi bulan sebelumnya terpantau pada seluruh kategori pengeluaran. "Terutama pada responden dengan pengeluaran Rp4,1 juta sampai Rp5 juta," jelas Junanto.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, pengaruh dari tingginya inflasi mulai berdampak ke minat konsumen untuk berbelanja. Terutama barang sekunder dan tersier. Masyarakat cenderung memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pokok. Termasuk bensin dan transportasi umum.

Dia memperkirakan daya beli masyarakat masih tumbuh terbatas hingga akhir tahun. Proyeksinya, konsumsi rumah tangga berkisar 4,6 persen sampai 4,8 persen year-on-year (YoY). Sebab, naiknya inflasi belum bisa dibarengi dengan penambahan gaji atau upah.

Faktor lain adalah penyesuaian suku bunga acuan BI ke bunga pinjaman yang memengaruhi belanja konsumsi. Termasuk kredit pemilikan rumah (KPR) maupun kredit kendaraan bermotor (KKB). "Perlu transisi 1–2 bulan ke depan. Terutama bank yang likuiditasnya tidak gemuk (bisa lebih cepat, red)," ungkap Bhima saat dihubungi JPG.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menegaskan, menjaga daya beli menjadi faktor penting. Sebab, produk domestik bruto (PDB) masih sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga. Kondisinya masih di atas 56 persen dari tahun ke tahun. "Ketika suku bunga naik, pinjaman-pinjaman yang harus dibayar naik, kemampuan mereka tergerus ketika gaji tidak berubah," ujar Ketua Umum Aprindo Roy Mandey.

Aprindo memproyeksikan pertumbuhan industri ritel sekitar 3–3,3 persen pada tahun ini. Meski tidak signifikan, target itu lebih baik jika dibandingkan dengan tahun lalu. Roy menyatakan, target tersebut didasarkan pada penanganan pemerintah yang lebih baik dalam menjaga harga kebutuhan pokok. "Perbaikan itu mengarah pada keseimbangan harga baru di tengah gejolak inflasi," jelasnya. (han/agf/c14/dio/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook