JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Irjen Ferdy Sambo memang telah menjadi tersangka dugaan pembunuhan berencana. Namun, masih ada sejumlah hal yang masih gelap, kendati sebenarnya mudah untuk diketahui. Salah satunya, dugaan keterlibatan Sambo dalam menembak Brigadir Yosua secara langsung.
Dalam konferensi pers Selasa (9/8) hanya disebutkan bahwa Sambo memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir Yosua.
Namun, tidak jelas bagaimana kondisi Brigadir Yosua saat sebelum ditembak oleh Bharada E.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa masih mendalami soal dugaan keterlibatan langsung Sambo menembak Brigadir Yosua. "Apakah FS hanya menyuruh atau terlibat langsung penembakan, masih didalami," terang mantan Kabareskrim tersebut.
Kuasa Hukum Bharada E Deolipa Yumara pun enggan membeberkan sebenarnya berapa kali Bharada E menembak Brigadir Yosua yang telah tergeletak. "Itu materi penyidikan, yang pasti penjelasan Polri sudah sesuai dengan pengakuan dari Bharada E," paparnya.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto menjelaskan, yang perlu dicermati adalah soal jumlah tembakan dan luka tembakan di tubuh Brigadir Yosua. Bila merujuk pengakuan Bharada E di Komnas HAM sebelumnya, sudah menembak tiga kali dan kemudian kembali menembak dua kali setelah Brigadir Yosua tersungkur. "Nah, pengakuannya kan sudah berubah, sudah mengakui bahwa ada perintah menembak," jelasnya. Dia menuturkan, dengan begitu sangat mudah sebenarnya mengetahui kemungkinan Sambo itu terlibat langsung penembakan atau tidak. Tinggal memeriksa Bharada E dan Bripka R, untuk mengetahui keterlibatan Sambo tersebut. "Yang masih gelap juga, soal senjata Glock 17 milik Brigadir R. Itu kapan diserahkan kepada Bharada E," paparnya.
Sementara Kabareskrim Komjen Agus Andrianto membeberkan alasan mengapa Bripka R dan Kuat, asisten rumah tangga Sambo, menjadi tersangka. Menurutnya, Bripka R itu memberikan kesempatan penembakan terhadap Brigadir Yosua terjadi," terangnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, saat Sambo memberikan pengarahan terkait penembakan tersebut, Bripka R, Bharada E, dan Kuat juga hadir bersamaan. "Ada arahan dari FS, mereka bertiga hadir," jelasnya,Rabu (10/8). Yang juga masih gelap dalam kasus Sambo adalah siapa yang membuat kronologi awal pelecehan seksual berujung tembak menembak.
Penasehat Kapolri bidang Komunikasi Publik Fahmi Alamsyah dikabarkan terhubung dengan pembuatan kronologi awal yang oleh publik dinilai begitu janggal. Terkait keterlibatan Fahmi Alamsyah itu, hingga saat ini masih dilakukan pendalaman oleh tim khusus. Terkait dugaan keterlibatan Fahmi itu Kapolri pun mengakui masih mendalaminya dalam konferensi pers Selasa (9/8).
Di tengah terpaan isu miring itu, Fahmi diketahui mundur dari jabatannya sebagai penasehat Kapolri. Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo menuturkan bahwa informasi yang didapat dari Korsahli menyebutkan bahwa Fahmi sudah tidak menjabat sebagai penasehat Kapolri. "Sudah dapat info dari Korsahli, yang bersangkutan sudah tidak menjabat," paparnya, Rabu (10/8).
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu menyampaikan bahwa dugaan obstruction of justice dalam kasus pembunuhan Yosua harus diusut tuntas. "ICJR sejak awal proses penyidikan kasus ini telah menyerukan pengusutan terhadap dugaan tindak pidana menghalang-halangi proses penyidikan," ungkap Eras kepada awak media di Jakarta.
Terlebih setelah diketahui ada upaya menghilangkan bukti rekaman CCTV. Menurut Eras, dugaan terjadinya upaya menghalang-halangi penyidikan dalam penanganan kasus tersebut tidak boleh diabaikan.
"Pasal 221 KUHP telah secara jelas mengatur ancaman pidana terhadap pihak-pihak yang menghilangkan atau menyembunyikan bukti-bukti," ujarnya.
Bila dugaan tersebut terbukti, hukuman terhadap para pelaku bisa diperberat. Sebab, mereka adalah penegak hukum yang mestinya tidak melakukan hal itu. Untuk itu, IJCR mendorong agar Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo tidak ragu-ragu menindak personel Polri yang diduga menghalang-halangi proses hukum dalam kasus pembunuhan Yosua. "Tidak hanya berhenti sampai pemberian sanksi etik semata apabila ditemukan adanya indikasi tindak pidana," kata Eras. Dia meminta Polri juga mengungkap proses hukum atas dugaan obstruction of justice tersebut secara terbuka. Lebih dari itu, ICJR menilai bahwa penanganan kasus pembunuhan Yosua menunjukkan masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki.
Di antaranya mekanisme pengawasan dalam proses penyidikan oleh Polri. Utamanya yang kasusnya melibatkan pejabat kepolisian atau ada konflik kepentingan dan relasi kuasa di tubuh Polri. Mereka mendorong agar pemerintah bersama DPR segera merancang mekanisme pengawasan tersebut.
IJCR juga menilai bahwa proses hukum dalam kasus pembunuhan Yosua harus dijadikan salah satu pijakan dalam penyusunan RKUHP yang masih berlangsung. Menurut Eras, RKUHP harus mengatur pasal-pasal pidana obstruction of justice lebih tegas lagi.
"Termasuk memastikan adanya pidana untuk rekayasa kasus dan rekayasa bukti," ujarnya. RKUHP juga wajib mengatur pemberatan hukuman. "Khususnya bagi pelaku pejabat atau aparat penegak hukum," tambah dia.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PPP, Arsul Sani meminta semua pihak menahan diri menyampaikan pernyataan yang diluar kewenangannya. Pasalnya, hal itu bisa mengacaukan kerja polri yang saat ini dinilai sudah on the track.
Salah satu pihak yang disorot Arsul adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Seperti diketahui, Mahfud beberapa kali menyampaikan informasi secara mendahului. Mulai dari jumlah tersangka hingga terbaru soal motif kasus pembunuhan Yosua.
"Biar Polri, karena itu memang tupoksinya Polri. Komisi III, Kemenkopolhukan itu bukan penyidik," ujarnya di Kantor KPU RI Jakarta, Rabu (10/8).
Arsul menambahkan, urusan motif sebuah tindakan bukan perkara sederhana. Sebab secara teori, motif baru bisa diketahui pasca tindakan pidana sudah terang.
Saat ini, Polri sudah secara terang berhasil membongkar tindak pidana yang dilakukan. Namun motif, lebih membutuhkan waktu. Sebab, motif biasa diketahui dari keterangan seseorang, bukan hasil otopsi ataupun uji balistik. "Kalau sekarang belum diungkap motifnya ya memang saya kira masih dalam proses penyidikan," tuturnya.
Atas dasar itu, dia menilai tidak tepat pernyataan Mahfud MD. Arsul berharap, ke depan semua otoritas lebih bisa sabar. "Kalau motifnya itu belum apa-apa sudah disampaikan, maka kemudian upaya untuk mengembangkan kasus ini bisa terhambat," jelasnya.
Selain Mahfud, dia juga menyoroti Sekretaris Kompolnas Benny Mamoto yang sempat menyebut pelecehan seksual. "Baru mendapatkan informasi awal, penjelasan awal, belum di-crosscheck, belum ada cross eksaminasi secara menyeluruh, kok sudah menyimpulkan," sindirnya. Atas dasar itu pula, dalam beberapa pekan terakhir, Komisi III relatif tidak banyak bicara terkait kasus Sambo. Semata-mata untuk melihat perkembangan tanpa menyebarkan narasi yang belum jelas.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi dan mendukung langkah tegas Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam menyelesaikan kasus tewasnya Brigadir Y. Kapolri sudah menetapkan empat tersangka dalam perkara itu. Menurut dia, langkah itu sejalan dengan sikap tegas Presiden Joko Widodo yang telah menginstruksikan agar Polri segera mengusut tuntas, tidak boleh ragu-ragu, dan tidak boleh ada yang ditutupi.
Presiden Joko Widodo menekankan bahwa pengungkapan kebenaran kasus ini sangat diperlukan agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri tidak hilang. "Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik," ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo.
Dia juga meluruskan berbagai miss informasi yang beredar di media terkait pernyataannya pada saat membuka Forum Tematik Badan Koordinasi Humas pada 4 Agustus 2022 lalu. Bamsoet menegaskan bahwa dirinya tidak membela Irjen Fredy Sambo.
Pada saat itu Sambo belum ditetapkan sebagai tersangka, sehingga dirinya mengajak masyarakat untuk menyerahkan sepenuhnya proses penanganan wafatnya Brigadir Y kepada Polri. Menghormati proses hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law dengan mengedepankan asas praduga tidak bersalah.
Dia juga mengajak masyarakat untuk bijaksana mencerna berbagai informasi yang beredar di media sosial. Mengingat pada saat itu banyak sekali beredar informasi di media sosial yang kebenarannya belum valid, serta tidak jelas darimana sumber informasinya, baik terhadap almarhum Brigadir Y maupun terhadap keluarga besar Irjen Sambo.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu menerangkan, berbagai langkah tegas yang telah dilakukan Kapolri merupakan cerminan keseriusan Polri dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama bagi keluarga almarhum Brigadir Y. "Masyarakat harus mendukung Polri agar bisa menuntaskan kasus secara terang benderang," urainya.
Dengan mulai terungkapnya kasus wafatnya Brigadir Y, diharapkan juga bisa mengakhiri berbagai kesimpangsiuran informasi yang sudah tersebar di berbagai media sosial. Sehingga masyarakat tidak menjadi korban misinformasi, yang justru menjadi kontradiksi terhadap upaya penegakan hukum yang secara serius sedang dilakukan Polri.
Keluarga Bharada E Terpukul, Ortu Masuk RS
Keluarga Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) seakan tidak percaya atas kejadian yang menimpa Ichad, sapaan Bharada E. Semua kerabatnya merasa terpukul.
"Kita keluarga di sini memang ada tekanan batin juga. Bahkan, orang tuanya sampai masuk rumah sakit di awal mendengar kasus itu," kata Royke Pudihang, paman Bharada E. "Istri saya juga sakit begitu melihat televisi," tambahnya saat ditemui Manado Post (JPG) di kediamannya di Mapanget.
Meski demikian, kata Royke, keluarga menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. "Pasrah juga kepada Tuhan. Kami tetap yakin dan percaya kepada pemerintah, proses hukum silakan berjalan. Kami di sini hanya menyaksikan lewat media, berharap yang terbaik," terangnya.
Menurut dia, Ichad dikenal sebagai anak yang baik. Bahkan, sebelum menjadi anggota Polri, Ichad sering membantu pekerjaan orang tuanya. "Kan ayahnya driver kanvas. Dia selalu membantu, jadi helper memikul barang. Bawa ke Amurang, Boltim. Kalau papanya bekerja mengecat di rumah saudara, dia juga ikut membantu," katanya.
Royke bercerita, Ichad pernah dua kali mendaftar tes bintara di Polda Sulut. Namun, semuanya gagal. Karena itu, dia memutuskan mendaftar sebagai tamtama. Ichad akhirnya mengikuti tes tamtama Brimob pada 2019 dan dinyatakan lolos.
Sebelum mengikuti pendidikan Polri, Ichad dikenal sebagai aktivis pencinta alam bebas. Dia punya kemampuan mendaki gunung dan panjat tebing. Bahkan, Ichad pernah menjadi instruktur wall climbing. "Jadi, waktu masuk polisi, kalau tidak salah dia mendapat ranking. Sebab, ada prestasi sebagai atlet. Renang, panjat tebing, naik gunung. Jadi, fisiknya bagus," kata Royke.
Bharada E mengikuti pendidikan Brimob di Watukosek, Jatim. Lulus 2020 dan langsung ditugaskan di Jakarta. Bharada E juga pernah bertugas di Poso dan Papua. "Setelah dari Papua, dia ditarik lagi ke Kelapa Dua di Mako Brimob. Setelah beberapa bulan di sana, dia kembali dikirim ke Poso. Kalau tidak salah 6–7 bulan. Pulang dari Poso, dia ditarik ulang ke Mako Brimob," terangnya.
Sejak itu, dia jarang berkomunikasi dengan Bharada E. Dia hanya mendapat informasi dari adiknya, yakni ibu Bharada E, bahwa Ichad bertugas sebagai ajudan Kadivpropam Polri. Ke mana orang tua Bharada E? Royke mengaku tidak tahu. "Sampai saat ini, saya belum tahu mereka tinggal di mana. Waktu kejadian masih ada komunikasi, setelah itu tidak tahu," ujarnya.
Royke berharap pemerintah memberikan perlindungan kepada Bharada E. Sebab, Bharada E menjadi sosok yang membongkar kejahatan Irjen Ferdy Sambo. "Tapi, kami meyakini perlindungan besar itu datang dari Tuhan. Tuhan akan tetap menjadi benteng perlindungan kita. Dan kami berterima kasih kepada Tuhan yang selalu menjaga kita sampai ada saat ini," katanya.(*/c19/oni/idr/syn/far/lum/jpg)