OLEH: DAHLAN ISKAN

Jiwa Terbelah

Nasional | Sabtu, 22 Juni 2019 - 10:24 WIB

Jiwa Terbelah

Tara sendiri juga tidak bisa berangkat. Tidak punya paspor. Untuk bikin paspor harus ada akta kelahiran. Akhirnya bibinyalah (adik ibu) yang bersumpah di pengadilan. Bahwa Tara lahir pada tanggal itu. Satu tanggal yang Tara sendiri yang menentukan. Saat tiba di Cambrige Tara menjadi anak kampung satu-satunya di kampus dunia itu. Termasuk Tara tidak punya baju untuk dansa. Atau untuk  jamuan makan. Tapi dia tidak peduli. Jiwa mandirinya sangat kuat.

Saat diminta membuat karya tulis pertama, guru besar di sana terpana: belum pernah ada calon mahasiswa S2 yang punya karya tulis sebagus Tara.  Bea siswa itu berlanjut ke tingkat doktor. Itu setelah tim guru besar Cambridge menyatakan karya tulis Tara untuk lulus master sudah menyamai disertasi doktor. Pun doktor itu boleh diambil di Cambrige atau Harvard, Boston.

Baca Juga : Bambu Ijuk

Tara memutuskan tetap di Cambridge. Hanya saja dia juga mengambil di Harvard selama enam bulan. Suatu saat ayahnya datang ke Boston. Bersama ibunya. Tidak mau di hotel. Ingin tidur sekamar di asrama Tara. Sang ayah tidur di ranjang. Sang ibu di kursi. Tara sendiri di lantai. Tanpa kasur.

Tidur bersama itu ternyata sengaja dilakukan sang ayah. Sebagai cara paling intensif. Untuk menginsyafkan Tara. Agar bisa kembali ke jalan iman. Setelah seminggu di Boston sang ayah kehabisan harapan. Tara sudah terlalu jauh tersesat. Sang ayah pulang dengan penuh kekecewaan. Tara akhirnya meraih gelar doktor. Di umurnya yang 27 tahun. Dengan disertasi tentang filsafat sejarah. Terkait dengan Gereja Mormon dalam sejarah. Disertasi pertama di bidangnya. Judulnya: The Family, Morality, and Social  Science in Anglo American Cooperative Thought, 1813-1890. Tahun 2014 itu dia bergelar doktor.

Kisah hidupnya itu dia tulis di buku pertamanya. Semua. Dalam sebuah buku tebal. Buku baru. Berjudul Educated. Yang baru selesai saya baca. Tidak ada yang disembunyikan Tara. Sangat detil. Penuh warna. Termasuk warna kehidupan sehari-hari keluarga Westover. Sejak masa kecilnya. Dengan konflik-konfliknya. Dengan darahnya. Dengan airmatanya.

Sudah lebih tiga tahun Tara tidak bertemu ayahnya. Tidak mau pulang ke Idaho. Terakhir dia pulang untuk melepas rindu pada kampungnya. Pada pegunungan Buck Peak. Pada tempat-tempat kecilnya: gereja, latihan tari, kudanya dan tempat tampil di paduan suara. Dan musim saljunya. Dia tidak mampir ke rumahnya. Hanya lewat di depannya.

Dia sendiri mengaku mengalami gejala kejiwaan: jiwa terbelah. Jiwa yang ganda. Di dalamnya ada pribadi Tara dewasa. Tapi juga terus hidup Tara yang lain. Tara masa remaja. Masa pemberontakan. Sampai kepalanya dibenamkan ke air di dalam toilet. Gejala kejiwaan itu pula yang dialami ayahnya. Dalam  derajat yang sangat tinggi. Juga kakaknya. Ini penting untuk kita. Bagaimana parenting. Bagaimana dewasa dalam keluarga. Dan bagaimana menangani kalangan ekstrem dengan ilmu pengetahuan. Bukan dengan kekerasan. Saya tidak bisa membayangkan reaksi sang ayah. Kalau membaca buku ini. Di hari tuanya. Di pegunungan Idaho.

Yang aliran gereja Mormonnya sangat konservatif. Lebih konservatif dari pusat Mormon di Salt Lake City. Yang memiliki universitas terkemuka: Brigham Young University (BYU). Tempat Tara pertama merasakan sekolah dulu.  Sayang saya tidak ada jadwal lewat Idaho. Saya sudah menjelajah kawasan itu dua tahun lalu. Tapi saya tetap ingin ke sana lagi. Sekali lagi. Siapa tahu bisa ketemu Pak Westover. Kapan-kapan.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook