Di sela-sela jualan Tara browsing di komputer. Dia temukan formulir ujian masuk. Tapi ia tidak paham di dua mata pelajaran: matematika dan bahasa Inggris. Tara terus berupaya bisa menjawab. Tanya ibunya. Yang ternyata dulu pernah sekolah. Sebelum kawin dengan Westover. Dia kawin umur 15 tahun. Punya anak umur 16 tahun.
Tapi sang ibu sudah lupa. Keduanya terus mengutak-atik pertanyaan matematika itu. Tapi jawabnya selalu salah. Tara tidak bisa bertanya pada kakak-kakaknya: tidak ada yang sekolah. Bahkan kakak-kakak lakinya itu seperti ayahnya. Selalu ikut mengontrol kehidupan Tara. Suatu saat ketahuan. Tara mencoba menggunakan lipstik. Di hajar habis. Hampir saja Tara mati. Kakaknya menganggap Tara berbuat dosa besar. Sampai wajahnya ditenggelamkan ke air di dalam toilet. Tidak bisa bernafas.
Kuatnya tekad Tara membuat dia berani merayu ayahnya. Dengan risiko akan diusut dan dimarahi. Tara merasa ayahnya pasti tahu hitungan matematika. Dia lihat ayahnya selalu mengutak-atik peralatan. Sampai menghitung detil. Misalnya saat sang ayah membuat senjata. Dan memproduksi peluru. Di ruang bawah tanah. Untuk melawan kalau ada petugas pajak datang. Dia tidak mau membayar pajak. Tidak ada peranan pemerintah pada hidupnya. Sedang tanah di situ ia peroleh dari Tuhan.
Tara berhasil. Sang ayah tahu jawabnya. Tapi tidak tahu caranya bagaimana bisa sampai pada jawaban itu. Sang ayah pun naik pitam. Marah besar. Pada istrinya. Mengapa tidak bisa mengajari Tara hal seperti itu. Setelah merasa bisa Tara memasukkan kertas ujian itu lewat email. Dapat nilai 27. Gagal masuk sekolah. Nilai terendah yang diterima adalah 28.
Tara terus belajar sendiri. Tahun berikutnya ia masukkan kertas ujian. Dapat nilai 80. Tara diterima. Yang sulit adalah: bagaimana cara memberitahu ayahnya. Bagaimana bisa mendapat izin sekolah. Asumsi awalnya: pasti tidak diizinkan. Dan memang tidak diizinkan. Bahkan mendapat marah.
Tara juga curi-curi ikut latihan tari. Di sebelah gereja. Tempatnya selalu ikut sekolah Minggu. Tapi Tara tidak berani pakai baju tari. Dosa. Juga memang tidak punya. Padahal dia punya bakat. Dari latihan tari itulah Tara ikut paduan suara gereja. Di situlah ayahnya tahu: Tara membuat dadanya bangga. Anaknya tampil di grup nyanyi gereja.
Lalu Tara mendapat tawaran menjadi penyanyi di paduan suara tingkat kota. Dia menjadi penyanyi solonya. Dia pun terpilih saat akan ada acara besar. Tapi harus latihan lebih intensif. Berarti harus sering meninggalkan rumah. Kadang malam hari. Tidak mungkin. Tidak akan diizinkan. Setelah berbagai rayuan akhirnya ayahnya mengizinkan. Harus didampingi sang ibu. Ibunya juga kesenangan.
Waktu tiba hari pementasan sang ayah ternyata ingin menyaksikan. Diam-diam. Tahu-tahu sang ayah antre di loket karcis. Duduk di deretan kursi paling depan pula. Saat Tara tampil di panggung matanya sering curi-curi wajah ayahnya. Tapi suara Tara memang hebat. Selesai pertunjukan Tara sudah siap akan diapakan saja oleh ayahnya. Ternyata ayahnya memujinya. Merangkulnya. Dan memberikan beberapa saran.
Tahun berikutnya, saat Tara umur 17 tahun, dia berani kan minta izin ayahnya: sekolah. Reaksi pertama sang ayah sangat marah. Dianggap akan melawan Tuhan. Akan menjadi kafir. Akan menjadi sosialis. Tapi akhirnya sang ayah mengizinkan. Hanya saja sang ayah tidak akan memberi uang sepeser pun. Ayahnya mengira umur Tara sudah 18 tahun. Sudah di luar tanggung jawabnya. Tapi Tara tidak risau. Dia punya tabungan dari kerja diam-diamnya.
Waktu wisuda ayahnya tidak mau datang. Padahal anaknya juara. Sang ayah melihat anaknya sudah tersesat terlalu jauh. Waktu Tara mendapat bea siswa ke Inggris ayahnya semakin no hope. Leluhurnya dulu meninggalkan Eropa untuk menghindari dosa. Kok malah anaknya akan sekolah di pusat dosa. Padahal bea siswa itu dari universitas terbaik di dunia: Cambrige University. London.