PADANG (RP) - Mantan Bupati Solok Gusmal kembali duduk di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Padang. Kali ini, Gusmal hadir sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang menyeret staf Bidang II Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Solok, Nazaruddin.
Dalam keterangannya, Gusmal yang menjabat Bupati Solok dari tahun 2005-2010 itu, mengatakan, setiap tahun Pemkab Solok mengalokasikan dana bansos untuk ormas dan masyarakat lainnya. Pos untuk bantuan ini dibuat, karena sedikitnya alokasi APBN yang bisa dirasakan masyarakat di Kabupaten Solok.
“Sekitar 78 persen dana APBD saja sudah habis untuk operasional. Sisanya sesuai anjuran pemerintah pusat diarahkan untuk pembangunan. Atas dasar itulah Pemkab membuat pos-pos bantuan kemasyarakatan yang di dalamnya termasuk dana bansos,” aku Gusmal yang juga narapidana kasus korupsi pengadaan tanah negara.
Saat itu, Gusmal mengaku tidak tahu tentang proposal fiktif yang dibuat dan dicairkan terdakwa Nazaruddin. Dia juga mengaku tak tahu menahu soal teknis pencairan dana bansos tersebut.
Gusmal menegaskan, dirinya baru mengetahui kasus itu mencuat diakhir jabatannya sebagai bupati Solok.
Selama menjadi bupati, dia mengaku tidak pernah mendapat laporan penyalahgunaan alokasi dana bansos. “Saya hanya memberikan prosedur prinsip soal teknis. Ini urusan sekda ke bawah,” tambahnya.
Selain Gusmal, dalam sidang tersebut juga dihadirkan tiga saksi lain, yakni Heriyanto bendahara DPPKAD, Fitri dan Rifa Khusairi staf di DPPKAD Kabupaten Solok.
Heriyanto mengaku pernah melihat terdakwa mencairkan dana dari beberapa proposal yang diajukan. “Saya mencairkan enam proposal langsung ke tangan Pak Nazaruddin,” aku Heriyanto.
Sementara Fitri dan Rifa Khusairi sama-sama mengaku pernah melihat terdakwa mengurus proses pencairan dana. Namun mereka tidak tahu pasti jumlah proposal yang dicairkan.
Terhadap keterangan para saksi itu, terdakwa Nazaruddin terang-terang membantahnya. Dia mengaku hanya mencairkan sebanyak dua proposal. “Jumlahnya pun tidak sesuai dengan jumlah yang diusulkan di proposal, yakni masing-masing Rp 1,2 juta,” sebutnya.
Seperti diketahui, perbuatan terdakwa Nazaruddin ini telah merugikan negara sebanyak Rp 215,8 juta. Perbuatan terdakwa itu bermula ketika dianggarkannya dana bansos dalam Daftar Isian Pengguna Anggaran (DIPA) Kabupaten Solok, tahun 2009 sebesar Rp 3,05 miliar. DIPA kemudian berubah pada tahun 2010 menjadi sebesar Rp 3,4 miliar. Syaratnya, penerima harus mengajukan proposal dan memiliki wadah berupa organisasi.
Periode tahun 2009-2010 ada sekitar 44 proposal dicairkan dengan total dana sebesar Rp 255 juta. Dengan rincian tahun 2009 sebanyak 29 proposal dengan total dana sebanyak Rp 168,3 juta. Dan tahun 2010 sebanyak 15 proposal dengan total dana sebanyak Rp 87 juta.
Namun ternyata, dari 29 proposal yang dicairkan pada tahun 2009 tersebut, sekitar 20 proposal senilai Rp 111,3 juta merupakan proposal fiktif yang dibuat oleh terdakwa. Begitu juga yang dilakukan terdakwa pada tahun 2010, dari 15 proposal yang dicairkan, 7 proposal senilai Rp 36 juta adalah proposal fiktif.
Dari 17 proposal terdiri dari 9 proposal pada tahun 2009 dan 8 proposal pada tahun 2010 dengan dana Rp 108,5 juta, yang benar-benar disalurkan terdakwa hanya Rp 40,5 juta. Sisanya Rp 68 juta dipergunakan terdakwa untuk kepentingan pribadinya. Total dana yang tidak disalurkan terdakwa sebanyak Rp 215,8 juta.
Kerugian negara itu dipertegas dengan hasil perhitungan dari Auditor Pemerintah pada Inspektorat daerah Kabupaten Solok. Terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2) dan (2) UU Tipikor. (bis)