Gusmal jadi Saksi Korupsi Dana Bansos

Nasional | Jumat, 10 Agustus 2012 - 10:35 WIB

PADANG (RP) - Mantan Bupati Solok Gusmal kembali duduk di kursi pesakitan Pe­ngadilan Tipikor Padang. Kali ini, Gusmal hadir sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang me­nye­ret staf Bidang II Di­nas Pendapatan Pe­nge­lola Keuangan dan Aset Daerah (DP­P­KAD) Kabupaten So­lok, Nazaruddin. 

Dalam kete­r­angan­­nya, Gusmal yang men­jabat Bupati Solok dari tahun 2005-2010 itu, mengatakan, setiap tahun Pemkab Solok me­nga­lokasikan dana bansos untuk ormas dan masyarakat lainnya. Pos untuk bantuan ini dibuat, karena sedikitnya alo­kasi APBN yang bisa dirasakan masyarakat di Kabupaten So­lok. 

“Sekitar 78 persen dana APBD saja sudah habis untuk operasional. Sisanya sesuai anjuran pemerintah pusat diarahkan untuk pem­ba­ngu­nan. Atas dasar itulah Pemkab mem­buat pos-pos ban­­tuan ke­­masya­ra­katan yang di da­lam­nya termasuk dana ban­sos,” aku Gus­mal yang juga na­ra­pidana kasus ko­rup­si pe­nga­daan tanah ne­gara.

Saat itu, Gusmal me­ngaku tidak tahu tentang proposal fiktif yang dibuat dan dicairkan terdakwa Na­zarud­din. Dia juga mengaku tak tahu menahu soal teknis pencairan dana bansos tersebut.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Gusmal menegaskan, diri­nya baru mengetahui kasus itu mencuat diakhir jabatannya sebagai bupati Solok.

Selama menjadi bupati, dia mengaku tidak pernah men­dapat laporan penyalahgunaan alokasi dana bansos. “Saya hanya memberikan prosedur prinsip soal teknis. Ini urusan sekda ke bawah,” tambahnya.

Selain Gusmal, dalam si­dang tersebut juga dihadirkan tiga saksi lain, yakni Heriyanto bendahara DPPKAD, Fitri dan Rifa Khusairi staf di DPPKAD Kabupaten Solok.

Heriyanto mengaku pernah melihat terdakwa mencairkan dana dari beberapa proposal yang diajukan. “Saya men­cair­kan enam proposal langsung ke tangan Pak Na­zaruddin,” aku Heriyanto.

Sementara Fitri dan Rifa Khusairi sama-sama mengaku pernah melihat terdakwa me­ngurus proses pencairan dana. Namun mereka tidak tahu pasti jumlah proposal yang dicairkan.

Terhadap keterangan para saksi itu, terdakwa Nazaruddin terang-terang membantahnya. Dia mengaku hanya men­cair­kan sebanyak dua proposal. “Jumlahnya pun tidak sesuai dengan jumlah yang diusulkan di proposal, yakni masing-masing Rp 1,2 juta,” sebutnya.

Seperti diketahui, per­bua­tan terdakwa Na­za­rud­din ini telah merugikan negara se­banyak Rp 215,8 juta. Per­buatan terdakwa itu ber­mula ketika dianggarkannya dana bansos dalam Daftar Isian Pengguna Anggaran (DIPA) Kabupaten Solok, tahun 2009 sebesar Rp 3,05 miliar. DIPA kemudian berubah pada tahun 2010 menjadi sebesar Rp 3,4 miliar. Syaratnya, penerima harus mengajukan proposal dan memiliki wadah berupa organisasi.

Periode tahun 2009-2010 ada sekitar 44 proposal dicair­kan dengan total dana sebesar Rp 255 juta. Dengan rincian tahun 2009 sebanyak 29 proposal dengan total dana se­banyak Rp 168,3 juta. Dan tahun 2010 sebanyak 15 proposal dengan total dana se­banyak Rp 87 juta.

Namun ternyata, dari 29 proposal yang dicairkan pada tahun 2009 tersebut, sekitar 20 proposal senilai Rp 111,3 juta merupakan proposal fiktif yang dibuat oleh terdakwa. Begitu juga yang dilakukan terdakwa pada tahun 2010, dari 15 proposal yang dicair­kan, 7 proposal senilai Rp 36 juta adalah proposal fiktif.

Dari 17 proposal terdiri dari 9 proposal pada tahun 2009 dan 8 proposal pada tahun 2010 dengan dana Rp 108,5 juta, yang benar-benar disalurkan ter­dak­wa hanya Rp 40,5 juta. Sisanya Rp 68 juta dipergunakan ter­dakwa untuk kepentingan pri­badinya. Total dana yang tidak disalurkan terdakwa se­banyak Rp 215,8 juta.

Kerugian negara itu diper­te­gas dengan hasil per­hi­tu­ngan dari Auditor Pemerintah pada Inspektorat daerah Ka­bu­paten Solok. Terdakwa di­dakwa me­langgar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat (1) huruf b, Ayat (2) dan (2) UU Tipikor. (bis)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook