Di bagian lain, seorang ikhwan jihadi yang tak mau disebut namanya mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir, aparat di Jawa Timur kurang serius dalam melakukan dialog dengan kelompok-kelompok militan.
”Nyaris tidak pernah ada dialog, atau pendekatan apa pun,” kata mantan napi kasus terorisme tersebut.
Menurut ikhwan tersebut, itu berimbas pada kurang tajamnya pengendusan terkait potensi bahaya yang akan muncul. ”Bagaimana mau bisa tahu jika ketemu dan berdialog saja tidak pernah,” imbuhnya seraya mewanti-wanti namanya tidak disebutkan.
Dikatakan, dunia ikhwan jihadi itu tidak terlalu luas sehingga ketika ada yang ”menghilang” atau terjadi apa-apa, mereka bisa cepat dideteksi. ”Itu bisa menjadi petunjuk awal,” jelasnya.
JAD Juga Incar Jakarta dan Bandung
Beberapa jam sebelum bom meledak di tiga gereja di Surabaya pada Ahad pagi (13/5), Densus 88 Antiteror menangkap enam terduga teroris di Jawa Barat. Empat orang di antaranya tewas lantaran berusaha melawan petugas. Berdasar data intelijen aparat kepolisian, seluruh teroris itu berasal dari satu jaringan. Yakni Jamaah Anshorut Daulah (JAD). Mereka bergerak di bawah kendali napi kasus terorisme K dan DS.
Kadivhumas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto menyatakan, K dan DS merupakan napi kasus terorisme yang tengah menjalani hukuman di Nusakambangan.
”Sudah lama, bukan yang kemarin (dikirm dari Mako Brimob, red),” ungkap dia kemarin.
Menurut Setyo, sasaran mereka dalam aksi terorisme kali ini tetap sama. Yakni aparat kepolisian. Termasuk yang bertugas di Mako Brimob. Selain itu, mereka juga sudah mengatur rencana untuk menyerang beberapa lokasi di Jakarta dan Jawa Barat.
”Penyerangan pos polisi, kantor polisi di wilayah Jakarta, Bandung, dan Mako Brimob,” terang Setyo. Namun, gerakan mereka berhasil terdeteksi. Petugas menanggkap empat orang berinisial BBN, DCN, AR, dan HS di Terminal Pasir Hayam, Cianjur, Jawa Barat. Keempatnya tewas setelah baku tembak dengan petugas.