JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sepanjang 2020, APBN terus melakukan fungsinya untuk menghadapi pandemi Covid-19. Menkeu Sri Mulyani Indrawati menuturkan, tanpa kerja keras APBN dan kebijakan fiskal yang responsif, dampak pandemi akan jauh lebih besar. Pada 2020 lalu, realisasi pertumbuhan ekonomi tercatat -2,07 persen.
Ani (sapaan menkeu) menyebut, pertumbuhan itu terbukti moderat terutama dibanding negara-negara lain yang terkontraksi lebih dalam. Hal itu salah satunya dipicu kerja keras APBN sepanjang tahun lalu. Salah satu fleksibilitas APBN adalah adanya pelebaran defisit di atas 3 persen. Dengan pelebaran itu, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk program pemulihan ekonomi mencapai Rp695,2 triliun.
Ani memerinci, realisasi anggaran PEN selama 2020 mencapai 575,8 triliun. Jumlah itu 82,83 persen dari target Rp695,2 triliun.
"Program PC-PEN diprioritaskan untuk merespon kondisi kesehatan yang mengalami dampak luar biasa akibat pandemi, juga untuk memulihkan daya beli masyarakat, membantu dunia usaha, termasuk UMKM," ujarnya pada Rapat Paripurna di DPR, kemarin.
Program PEN terealisasi untuk enam klister. Di antaranya yakni sektor kesehatan sebesar Rp62,6 triliun, perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp216,6 triliun, dukungan UMKM sebesar Rp112,3 triliun, sektor K/L dan pemda sebesar Rp 65,2 triliun, pembiayaan korporasi sebesar Rp 60,7 triliun, dan sektor insentif usaha sebesar Rp58,4 triliun.
Pemerintah juga telah membangunan fasilitas kesehatan tambahan seperti 260 ruangan baru puskesmas di seluruh Indonesia. Serta, melakukan perbaikan 269 rumah sakit untuk meningkatkan kapasitas daya tampung pasien Covid-19.
"Anggaran kesehatan yang dikeluarkan tersebut untuk menanggung biaya pengobatan dan perawatan pasien," jelas Ani.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu memerinci, anggaran kesehatan dikeluarkan untuk biaya pengobatan dan perawatan 200.545 pasien Covid-19 tahun 2020. "Ada 160 lebih ribu rumah sakit, 1,56 juta alat pelindung diri (APD), sebanyak 20.612 ventilator dan 5,7 juta alat tes cepat," imbuh Ani.
Anggaran itu juga mencakup pemberian insentif kepada tenaga kesehatan. Total, ada 684 ribu tenaga kesehatan di pusat dan 449 ribu tenaga kesehatan di daerah.
Selain itu, dalam APBN 2020, pemerintah mencatatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) Rp 245,6 triliun dalam APBN 2020. Legislatif memberikan catatan khusus terkait Silpa dalam APBN yang mencapai Rp 245,59 triliun. Angka itu terbilang terlalu besar dan, menurut mereka, menunjukkan pemerintah ceroboh dalam pengelolaan anggaran.
Anggota Badan Anggaran DPR RI Sukamta menyebutkan, pemerintah sembrono karena di satu sisi menghadirkan utang yang semakin besar sementara di sisi lain menyisakan silpa yang besar pula. Dia mencatat, utang Indonesia per Juli 2021 mencapai Rp6.750 triliun dengan rasio 40,51 persen dari PDB.
"Pemerintah beralasan menambah utang karena pandemi, namun kinerja penanganan pandemi sering kedodoran, seperti terjadi saat lonjakan Covid pada Juli dan Agustus," papar Sukamta dalam keterangan tertulisnya kemarin (7/9). Dia pun menilai bahwa belanja pemerintah selama ini belum mampu membangun kemandirian ekonomi.
Presiden, lanjut dia, beberapa kali menyampaikan bahwa pandemi merupakan momentum melakukan lompatan besar untuk menjadi negara maju. Namun, dia menegaskan bahwa lompatan itu tidak jelas dan Indonesia malah semakin kecanduan impor. Mulai impor lombok hingga vaksin dan alat tes Covid.
"Mestinya anggaran yang masih tersisa ratusan triliun sebagiannya bisa dialokasikan untuk membantu para petani, membeli hasil pertanian dengan harga normal. Silpa anggaran ratusan triliun juga bisa digunakan untuk mempercepat produksi vaksin sendiri," tegasnya.
Menjawab kritik soal Silpa, Ani menyebutkan bahwa anggaran itu dialokasikan untuk beberapa belanja penanganan pandemi. Di antaranya yakni untuk mengamankan stok vaksin untuk kebutuhan vaksinasi di awal 2021. Sehingga, Indonesia bisa menghadapi gelombang varian delta Covid-19 pada Mei Juni 2021. Lalu sebagian anggaran juga ditempatkan di bank umum dan BPD sebagai stimulus usaha kecil menengah.
Selain untuk pandemi, SILPA juga digunakan pemerintah untuk mengurangi besar utang dan pembiayaan 2021 agar lebih efisien. Total, Ani menyebut ada Rp 139,4 triliun bagian dari Silpa 2020 yang bakal digunakan sepanjang 2021 ini. Dia berkomitmen untuk terus mengendalikan Silpa secara lebih terukur dan terencana. "Untuk memitigasi resiko fiskal dan menangani pandemi," katanya
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan emergency use authorization (EUA) untuk vaksin Janssen dan Vaksin Convidecia. Vaksin ini digunakan untuk mencegah Covid-19 pada mereka yang berusia di atas 18 tahun dan diberikan hanya sekali dengan dosis 0,5 ml.
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan bahwa dalam penerbitan ini selalu berkoordinasi dengan pakar. Terutama terkait pemenuhan standar keamanan, khasiat, dan mutu vaksin.
"Kami melibatkan pakar bidang farmakologi, imunologi, klinisi, apoteker, epidemiologi, virology, dan biomedik," ungkapnya.
Di sisi lain, pemerintah mengeluarkan data terbaru bahwa risiko kematian lebih tinggi pada pasien Covid-19 yang belum melakukan vaksinasi. Menkominfo Johnny G. Plate mengungkapkan, bahwa 94 persen pasien Covid-19 di Indonesia yang meninggal dunia berstatus belum tervaksin.