(RIAUPOS.CO) --“Hampir 20 tahun aku tak menjengukmu, hampir saja aku lupa dan tak mengenalmu. Engkau bersolek molek rupanya. Untung saja engkau kukuh dengan jati dirimu dan tak luluh oleh dandananmu, duhai Jogja”
Ungkapan di atas adalah status penulis di facebook, terkait ungkapan hati selepas 20 tahun tidak menginjakkan kaki di Jogja. Dulu pernah ribuan hari bersamanya waktu menuntut ilmu di sana. Beragam pengalaman, pemandangan dan pengetahuan terhidang dalam meja peradaban Jogja. Tak banyak air peradaban yang penulis teguk, namun tegukan itu mampu melepas dahaga dan membuat penulis bahagia. Seperti ungkapan Melayu, “di mana ranting dipatah, di situ air di sauk.”
Kini, setelah 20 tahun Jogja terus bersolek. Kendati dalam bentang panjang waktu itu, cobaan terus menghadang. Tercatat terjadinya gempa tektonik pada tahun 2006 yang menewaskan ribuan orang, dan juga meletusnya Gunung Merapi tahun 2010 yang mengakibatkan sedikitnya 353 orang tewas. Tentu musibah ini berkelindan dengan kerugian materi yang tidak sedikit dan mengganggu ritme kehidupan masyarakat. Walapun demikian musibah tidak membuat Jogja menyerah, bahkan kini Jogja seakan sudah melupakannya, dan menjadikan setiap peristiwa itu wadah untuk berbenah dan mencungkil setiap hikmahnya.
Jogja dan segenap rentetan perjalanan hidupnya, seakan sedang mengajarkan kepada Indonesia bagaimana bersolek molek dan memaknai hidup. Setidaknya ada beberapa pelajaran utama yang mesti disauk oleh seluruh anak bangsa dalam meniti jalan kehidupan kebangsaan di tengah erosi nilai yang melanda. Pertama, edukasi diri. Banyaknya perguruan tinggi di Jogja menyiratkan bahwa pendidikan menjadi penting dalam kehidupan. Mengenyampingkan pendidikan hanyalah langkah bunuh diri yang tidak tahu kapan kematian itu datang, yang jelas hidup akan melarat dan tersayat-sayat hingga sekarat. Tentu pendidikan yang dituju itu adalah pendidikan yang mencerdaskan, mengedukasi akal budi yang akan mengokohkan jati diri sebagai bangsa timur nan luhur.
Kedua, pantang menyerah. Hidup bukanlah berlalu tanpa masalah, tapi hidup adalah bagaimana hidup dalam beragam kendala yang melanda dan menjadikannya sebagai muara untuk meraih hidup yang bermakna. Bukan tidak bersedih kala bencana datang, akan tetapi jangan sampai bencana datang membunuh optimisme, sebaliknya harus menumbuhkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Optimisme itu dapat dilihat dari geliat masyarakat dan bagaimana Meseum Merapi dibangun serta tumbuhnya destinasi wisata di daerah-daerah yang dulunya terkena abu vulkanik. Kendati belum tertata dengan apik, tapi setidaknya itu menandakan bahwa denyut nadi kehidupan kian berdetak dan menjanjikan kehidupan.
Ketiga, keramahan dan kesederhanaan. Sebagai sebuah negeri yang memiliki tradisi tinggi, Jogja menyuguhkan nuansa ramah dan sederhana dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Ungkapan saling sapa terhadap sesama masyarakat begitu juga dengan pelajar atau wisatawan yang notabene pendatang menjadi pemandangan yang tidak asing lagi. Saling hormat-menghormati dan menghargai di tengah keragaman yang menyelimuti penduduknya juga terlihat jelas hingga kini. Bahkan kederhanaan itu juga tergambar dari kuliner dan tempatnya yang ada di setiap sudut Jogja. Angkringan misalnya menjadi pilihan segala strata, walau terkadang didominasi oleh mahasiswa dan para pekerja. Bahkan kuliner gudeg yang menjadi ciri khas Jogja, juga menggambarkan kesederhanaan.
Keempat, keberpihakan sultan. Jogja sebagai negeri istimewa yang gubernurnya dipimpin oleh sultan atau raja menjadi kunci penting dalam denyut kehidupan Jogja. Keberpihakan sultan kepada rakyat menumbuhkan penghormatan dan ketaatan rakyat kepadanya. Hal ini terlihat bagaimana Sri Sultan yang juga Gubernur DIY belum menyetujui pembangunan jalan tol di Jogja. Sultan menilai pembangunan tol dirasa kontraproduktif dan tidak memberi dampak bagi perekonomian yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Dalam bahasa lugasnya usai acara Syawalan Pemerintah Provinsi DIY dengan ASN Kulon Progo,mengatakan, “Kalau tol bermanfaat, mari kita bicara, kalau masyarakat Kulon Progo tidak dapat apa-apa untuk apa dibangun tol.” Ungkapan Sri Sultan tersebut menggambarkan bagaimana pemimpin meletakkan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pemilik modal atau lainnya.
Bersolek molek adalah keharusan dan keniscayaan setiap negeri dalam menjalani kehidupannya, agar tidak tergerus zaman serta ketinggalan dalam pembangunan. Hanya saja yang patut dicatat adalah jangan sampai bersolek menanggalkan jati diri. Terlebih keinginan tampil molek menabrak hak-hak dan kepentingan rakyat sebagai entitas utama dalam sebuah bangsa. Sebab untuk apa bersolek dan tampil molek kalau hanya sekadar ingin menyenangkan mata orang luar yang memandang, sedangkan diri sendiri teriris dan tak mampu lagi menampilkan senyum tulus nan indah yang keluar dari hati.
Apa yang dilakukan Jogja walau masih terdapat banyak kekurangan, tapi setidaknya mengajarkan kepada bangsa yang besar ini bagaimana seharusnya bersolek molek yang benar. Menjadi bangsa yang besar dan maju tidak harus menanggalkan dan menggadaikan jati diri. Sebab untuk apa pujian-pujian didapat, kalau kita sebagai diri tidak lagi mampu mengatur diri sendiri. Warna bedak dan lipstik kita tergantung permintaan para penikmat. Kita tak mampu lagi menyuarakan keinginan hati. Tergadai karena ingin bersolek, tampil molek dan lupa diri sebagai bangsa yang besar yang kehadirannya diperjuangkan dengan tetesan darah dan nyawa para pendahulu kita.
Semoga bangsa yang besar ini terus menggenggam optimisme, keberpihakan pemimpin kepada rakyat dan terus menerus bersolek molek untuk kebahagiaan dirinya, bukan untuk para penikmat yang membuatnya kehilangan jati diri dan kendali atas dirinya sendiri.***