Wapres Ma’ruf Hindari Pertanyaan soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Nasional | Kamis, 07 November 2019 - 20:49 WIB

Wapres Ma’ruf Hindari Pertanyaan soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Wapres Ma’ruf Amin bersama Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (kiri) dan Menkes Terawan Agus Putranto usai menghadiri peresmian RSU Syubbanul Wathon di Tegalrejo, Magelang, Kamis (7/11). Foto: Fathan Sinaga/JPNN.Com

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin enggan menanggapi polemik tentang kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Mantan rais am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu pun tak menjawab saat ditanya tentang keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menaikkan iuran jaminan sosial kesehatan tersebut.

Kiai Ma’ruf memperlihatkan keengganannya menanggapi polemik soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan usai menghadiri peresmian Rumah Sakit Umum Syubbanul Wathon di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/11). Semula, awak media mewawancarai Ma’ruf soal peresmian rumah sakit hasil kerja sama PBNU, Lippo Group dan Yayasan Syubannul Wathon itu.


Salah seorang wartawan lantas bertanya kepada Kiai Ma’ruf soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Saat itu, Ma’ruf langsung meminta wartawan menanyakan soal itu kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang ikut hadir pada peresmian rumah sakit tersebut.

Terawan pun sigap merespons pertanyaan wartawan. Menurutnya, pemerintah sejauh ini sudah berusaha membantu masyarakat, termasuk dengan mengusulkan tambahan subsidi bagi peserta BPJS Kesehatan golongan penerima bantuan iuran (PBI).

"Ini baru dibahas bagaimana membantu PBI-nya supaya kelas tiga ini seolah-olah tidak terjadi kenaikan iuran. Itu baru kami selesaikan. Kan belum berlaku masih 1 Januari 2020," kata Terawan.

Mantan kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto itu menjelaskan, pola subsidi hanya untuk peserta BPJS Kesehatan kelas III. Menurutnya, hal itu masih dibahas di tingkat menteri.

"Kelas III akan tersubsidi. Kami baru hitung supaya tidak salah," kata dia.

Terawan juga menyinggung tentang sanksi sosial dari masyarakat kepada rumah sakit yang tidak meningkatkan pelayanan. Menurutnya, bagi rumah sakit justru hukuman sosial dari masyarakat terasa lebih berat ketimbang sanksi admisistratif.

"Kalau RS tidak melayani dengan baik, mulai dari sanksi sosial saja sudah muncul. Itu kan berat sekali kalau sanksi sosial. Ya, kalau administrasi itu lebih ringan, tetapi kalau sanksi administrasi sosial itu berat sekali," jelas dia.(tan/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook