JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kematian Aktivis Munir Said Thalib sudah mencapai angka 17 tahun. Namun sampai saat ini belum diketahui siapa aktor intelektual meninggalnya aktivitas itu. Bahkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berkeyakinan, kematian Munir adalah pembunuhan politik atau political assassination.
Kuat dugaan, kasus ini berhubungan dengan situasi demokrasi saat peristiwa, yakni putaran akhir pemilihan langsung presiden yang berlangsung kurang dari dua pekan sesudahnya, yaitu 20 September 2004.
Direktur YLBHI Asfinawati menyatakan, partisipasi Munir dalam pemilihan presiden putaran pertama pada Juli
2004, bisa menjadi faktor penting dalam mengungkap motif dan faktor yang memicu peristiwa. Termasuk efek yang diinginkan aktor intelektual pembunuh Munir dalam arena politik demokrasi elektoral ketika itu.
“Logika pembunuhan politik berbeda dengan kekerasan politik biasa,” kata Asfinawati dalam keterangannya, Senin (6/9/2021).
Menurut Asfinawati, karakteristik sang korban di sebuah pembunuhan politik sangat mungkin menjadi tujuan dari pembunuhan. Dalam berbagai pengalaman negara lain, pembunuhan politik kerap menimpa orang-orang yang dinilai berseberangan dengan pemerintah.
Dia mengakui, Munir jelas kritis pada institusi keamanan seperti militer dan intelijen, sebuah badan di mana telah ada keterlibatan beberapa orang dari agen rahasia tersebut. Bahkan Munir juga vokal menyuarakan pertanggungjawaban negara untuk mengadili elite-elite tertentu yang berlatar belakang militer atas sebuah pelanggaran HAM.
"Kami juga menilai bahwa kasus Munir harus dapat dijadikan peringatan bagi seluruh masyarakat Indonesia,” tegas Asfinawati.
Pertama, betapa kotornya perpolitikan Indonesia saat berlangsung persaingan dalam pemilihan langsung presiden yang pertama dalam perjalanan sejarah Indonesia. Kedua, betapa minimnya jaminan keamanan maupun perlindungan hukum bagi pejuang demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.
Atas dasar itu, kata Asfinawati, pihaknya mendesak Presiden Joko Widodo untuk berani mengusut aktor intelektual di balik kasus Munir Said Thalib. Asfinawati memandang, pengusutan aktor intelektual sangat penting untuk menunjukkan komitmen Presiden atas demokrasi.
Terlebih, ketidakmauan politik untuk membuktikan komitmen itu adalah cermin mengakarnya sifat otoritarianisme dalam negara Indonesia. Menurutnya, Negara bertanggung jawab untuk melakukan penyelesaian secara terbuka.
“Kasus yang merenggut nyawa Munir saat hendak mengejar pascasarjana di Utrecht University ini masih
meninggalkan banyak pertanyaan. Kasus ini bukan hanya belum tuntas, tetapi kerap dipolitisasi dan menjadi bahan komoditas politik menjelang momen pemilihan umum. Misalnya, kasus ini tidak hanya menjadi janji kampanye bagi calon Presiden, tetapi menjadi bom waktu bagi rival politik atau oposisi untuk menyerang pesaingnya atau pemerintah lewat isu HAM,” pungkas Asfinawati.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erwan Sani