JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon mengkritisi kebijakan pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial alias BPJS Kesehatan.
Fadli mengkritisi lewat serangkaian kicauan di Twitter, yang dibagi dalam 32 kicauan.
Menurut Fadli, pemerintah seharusnya meninjau ulang model pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang saat ini menggunakan sistem iuran atau premi asuransi.
Karena dengan membebankan biaya jaminan kesehatan kepada masyarakat, pemerintah seperti hendak melepaskan kewajibannya menjamin akses kesehatan terjangkau bagi seluruh masyarakat.
"Kebijakan (menaikkan iuran BPJS Kesehatan) dirilis sebelum tuntutan transparansi, efisiensi, serta tata kelola kelembagaan yg bersih benar-benar ditunaikan BPJS sehingga, kita tak pernah benar-benar tahu, masalah yang diidap oleh BPJS ini masalah di kepesertaan ataukah di tata kelola yang buruk," tulis Fadli lewat akun Twitter @fadlizon, Rabu (6/11).
Anggota DPR ini kemudian mencontohkan hasil dengar pendapat antara Komisi IX DPR dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 24 Mei lalu.
Dengar pendapat membahas tentang hasil audit dana jaminan sosial (DJS) kesehatan 2018.
"BPKP menemukan adanya inefisiensi pembayaran klaim layanan di RS (Rumah Sakit) sebesar Rp 819 miliar karena kontrak antara RS dan BPJS Kesehatan menggunakan tarif untuk kelas RS yang lebih tinggi," tulisnya.
Selain itu, kata Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 ini, database kepesertaan BPJS juga belum optimal, karena masih ada temuan 27,44 juta data peserta bermasalah.
"Ini sebenarnya adalah masalah lama, tetapi belum juga diselesaikan. BPJS seharusnya mempercepat proses ‘data cleansing’ kepesertaan ini," cuitnya.
Menurut Fadli, transparansi BPJS Kesehatan juga sangat buruk. Hingga saat ini BPJS belum mengunggah laporan tahunan dan laporan keuangan 2018.
Padahal, itu bagian dari pertanggungjawaban publik. Dokumen laporan pengelolaan dana jaminan sosial yang diunggah terakhir adalah tahun 2017.
Fadli kemudian menilai, pangkal mula permasalahan defisit BPJS Kesehatan sebenarnya bisa ditarik ke rendahnya anggaran kesehatan Indonesia.
Anggaran kesehatan hanya 110 triliun dari total APBN yang nilainya mencapai Rp 2 ribu triliun.
Menurut Fadli, jika dihitung berdasarkan proporsi terhadap GDP, maka anggaran kesehatan hanya sekitar 2,8 persen dari GDP sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar USD 112 per kapita, jumlah yang sangat kecil.
Fadli menilai, ini proporsi anggaran kesehatan terhadap GDP sekitar 10 persen. Karena itu, kebijakan menaikkan iuran BPJS hingga lebih dari seratus persen menurut Fadli, kebijakan yang keliru.
"Ini kebijakan publik yang buruk, karena yang dipikirkan pemerintah hanyalah bagaimana menyelamatkan keuangannya sendiri, tidak mau tahu implikasinya pada kantong masyarakat," kicaunya.
Fadli kemudian menyarankan agar presiden segera mengevaluasi direksi dan kelembagaan BPJS Kesehatan. Karena lembaga tersebut langsung berada di bawah presiden, bukan di bawah Kementerian Kesehatan.
"Saya usul, ada beberapa hal yang harus segera dievaluasi oleh Presiden. Pertama, @BPJSKesehatanRI ini adalah Badan Hukum Publik, bukan BUMN atau perusahaan sehingga, sangat tidak pantas jika Direksi BPJS digaji seperti halnya CEO atau direksi bank. Apalagi, lembaga ini terus-menerus defisit. Ini yang mencederai kepercayaan publik pada lembaga tersebut," kicau Fadli.
Kedua, sudah saatnya transparansi tata kelola BPJS Kesehatan memanfaatkan teknologi digital.
Bila perlu, tiap peserta punya mobile account yang bisa mengecek detail klaim yang diterima pada tiap transaksi, bukan hanya kapan harus bayar iuran saja.
Menurut Fadli, sudah bukan rahasia lagi jika selama ini peserta tidak bisa memantau jumlah biaya yang diklaimnya, juga tidak tahu persis manfaat atau fasilitas apa yang bisa diklaim, serta mana yang tidak.
Padahal, kata Fadli Zon, saat peserta datang ke rumah sakit, harus menandatangani perjanjian untuk membayar sendiri item-item manfaat yang tak ditanggung BPJS Kesehatan.
"Demi transparansi, seharusnya hal ini tak sulit dilakukan. Bukankah presiden di mana-mana selalu ngomong revolusi industri 4.0, ‘unicorn’, ‘decacornn’, atau tol langit? Harusnya semua itu segera diterapkan untuk membenahi," kicau Fadli.(gir/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal