JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Panglima TNI Andika Perkasa memberikan atensi serius pada prajuritnya yang tertangkap kamera melakukan penganiayaan kepada penonton pertandingan Arema kontra Persebaya.Dia menyatakan bahwa apa yang dilakukan bawahannya bukan sekedar kesalahan etik, tapi mengarah pada unsur pidana.
Ditemui di Komplek Istana Negara, Andika memberikan informasi nasib prajuritnya yang terlibat kekerasan di Stadion Kanjuruhan. Sejauh ini prajurit yang sudah diperiksa ada lima orang. Kelima ini diperiksa lantaran ada bukti awal berupa video. "Dari lima ini, empat sudah mengakui. Tapi satu belum, kami tidak menyerah makanya kami terus minta info dari siapapun juga. Siapapun punya video,"katanya, Rabu (5/10).
Selain prajurit, unsur pimpinan TNI pun diperiksa. Yang ingin diketahui adalah prosedur apa yang dijalankan dalam Stadion Kanjuruhan. Unsur pimpinan ini dimintai pernyataan apakah sudah mengingatkan bawahannya. "Jadi kami evaluasi batas kewenangan TNI dalam bertindak,"bebernya.
Andika kecewa kepada prajurit yang menyerang masyarakat. Apalagi terdapat video yang ditendang oleh prajurit adalah masyarakat yang sedang jalan menjauhi lapangan dan tidak menyerang aparat.
Andika juga menjelaskan aturan pengamanan dalam pertandingan. Posisi TNI merupakan lapisan ketiga. Lapisan pertama adalah Shabara, lalu Brimob. "Masalah yang terjadi ada orang yang jalan di depannya terus tahu-tahu diberikan tindakan kekerasan seperti yang kita lihat di video, kan itu menyalahi sekali,"ungkapnya.
Tindakan yang dilakukan prajurit TNI tersebut menurut Andika bukan ranah etik, tapi sudah tindak pidana, termasuk komandan yang membawahi prajurit tersebut. "Kalau komandan tidak memberikan briefing yang jelas apabila ada kerusuhan, berarti tanggung jawabnya tidak dilaksanakan. Berarti pasal 126 KUHPM,"ucapnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan komunikasi dengan FIFA terkait kejadian yang menjadi perhatian internasional. Ditemui seusai upacara HUT ke-77 TNI di Istana Merdeka kemarin, Jokowi menyatakan telah bicara langsung dengan Presiden FIFA Gianni Infantino, Senin (4/10) malam.
Dalam obrolan itu, insiden Stadion Kanjuruhan Malang jadi topik hangat. "Keputusan apapun adalah kewenangan FIFA,"kata Presiden Jokowi.
Kemarin, Jokowi juga melakukan kunjungan ke Malang untuk mengetahui peristiwa yang terjadi saat itu. "Sebagai gambaran, saya melihat bahwa problemnya ada di pintu yang terkunci dan juga tangga yang terlalu tajam, ditambah kepanikan yang ada,"katanya.
Jokowi kembali menegaskan bahwa tata kelola persepakbolaan Indonesia perlu diperbaiki secara keseluruhan. Baik dalam hal tata kelola pertandingan, stadion, penonton, hingga pengamanan. "Semuanya harus dievaluasi total agar peristiwa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan ini tidak terjadi lagi,"ucapnya.
Selain itu, Kepala Negara juga menjelaskan bahwa pemerintah telah membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md. Tim tersebut dibentuk untuk mencari tahu secara detail penyebab utama atas terjadinya tragedi yang menewaskan ratusan orang tersebut.
Dia menekankan bahwa tim gabungan tersebut nantinya akan mengumpulkan fakta dan segala informasi dari berbagai pihak. Kemudian disampaikan secara menyeluruh kepada masyarakat. Tim akan berbagi tugas sesuai dengan bidangnya masing-masing. "Sanksi dari PSSI ada. Pidana nanti yang mengumumkan dari Polri, jadi dibagi-bagi. Audit untuk bangunan nanti yang menyampaikan adalah dari Kementerian PU,"lanjutnya.
Jokowi bersama beberapa pihak mendapatkan somasi dari Aremania. Stafsus Menteri Sekretariat Negara Faldo Maldini pun berkomentar. "Soal Somasi, kami hormati. Setiap pihak punya hak,"ucapnya.
Dia juga mengajak masyarakat untuk melihat masalah ini jauh lebih dalam. Hal ini bertujuan untuk perbaikan persepabolaan tanah air. "Semua tentu ingin pengelolaan sepak bola lebih baik. Presiden Jokowi langsung respon cepat,"kata Faldo.
Tiga Polisi dan Tiga Panpel Bakal Jadi Tersangka
Sementara itu, pemberi perintah penembakan gas air mata yang diduga memicu Tragedi Kanjuruhan masih misteri. Namun, sebenarnya untuk mengetahui siapa pemberi perintah itu dinilai mudah. Tinggal memeriksa pelaksana pengamanan dalam pertandingan tersebut. Seharusnya tidak perlu waktu lama untuk mengetahui siapa yang memerintahkan penembakan gas air mata.
Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengatakan bahwa mudah untuk mengetahui siapa pemberi perintah gas air mata. Dengan memeriksa para anggota yang menembakkan gas air mata. ”Tapi, kalau mau,"jelasnya.
Namun, posisi pemberi perintah di lapangan hanya pelaksana. Tidak terlalu penting dibanding pemegang otoritas keamanan. ”Entah diperintah atau karena respons pembelaan, itu hanya problem di lapangan,"paparnya.
Menurutnya, ada kesan bahwa yang dikorbankan dalam tragedi ini adalah level bawah. Namun, di level atas justru saling menutupi. ”Yang pasti jangan sampai tragedi ini tidak tuntas karena apapun bisa terjadi kalau kasus ini tidak tuntas,"terangnya.
Yang pasti kalau serius harus didalami soal problem sistematisnya. Yakni, sistem manajemen pengamanan dalam pertandingan tersebut. ”Ini yang penting,"paparnya.
Sementara sumber Jawa Pos (JPG) menyebutkan bahwa keenamnya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga terlibat dalam dugaan pelanggaran pidana dalam kasus tersebut. ”Tiga orang di antaranya diduga anggota kepolisian,"ujar petugas yang mengetahui kasus tersebut.
Lalu, tiga orang lainnya merupakan sipil yang diduga menjadi panitia pelaksana laga tersebut. Namun, sumber tersebut tidak menyebutkan dengan jelas siapa dan peran mereka dalam kasus Tragedi Kanjuruhan. "Persiapan diumumkan di Malang,"jelasnya.
Sementara dikonfirmasi soal penetapan tersangka itu, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo belum merespons. Pesan singkat dan telepon belum dijawab. Yang pasti, mereka akan dijerat dengan pasal 359 KUHP dan 360 KUHP. Dalam kedua pasal tersebut disebutkan barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati dan luka berat, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Sementara itu, Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri mengatakan, melihat Tragedi Kanjuruhan sebagai peristiwa yang terjadi akibat faktor majemuk. Saat ditinjau dari faktor kepolisian, maka yang dikhawatirkan adalah polisi bermetamorfosa menjadi organisasi militeristik. ”Pendekatan ala militer,"paparnya.
Karena itulah, diharapkan Presiden Jokowi mengeluarkan executive order khusus terkait persenjataan dan prosedur penanganan massa oleh Polri. Executive order itu guna "memaksa"prilaku polisi untuk berubah. ”Dengan executive order ini waktu yang diperlukan relatif singkat,"ujarnya.
Berbeda dengan perubahan mindset dan kultural yang dicanangkan Kapolri. Karena kebijakan itu memerlukan waktu panjang dan berliku. ”Prilaku dulu diubah. Mindset dan culture menyusul berubah,"urainya.
Untuk itu executive order berisi panduan detail tentang daftar peralatan yang dilarang dan dikendalikan. Lalu, kebijakan untuk pelatihan penggunaan peralatan dan protokol penggunaannya. ”Juga pengawasan, kepatuhan dan implementasi,"tuturnya.
Namun, ia pesimis bahwa Jokowi mengetahui executive order. Karena itulah Kapolri bisa mengambil langkah dengan mengeluarkan executive order. ”Ini langkah penting yang harus diambil,"paparnya.
Sementara itu ahli keselamatan kerja Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Indonesi prof Fatma Lestari mengatakan Tragedi Kanjuruhan harus diinvestigasi secara mendalam dan independen. Termasuk melibatkan ahli K3, ahli kedaruratan, perancang stadion, dan lainnya.(lyn/tyo/idr/wan/jpg)