KASUS POLISI TEMBAK POLISI

Rusaknya Barang Bukti Sulitkan Pembuktian Keterlibatan Pihak Lain

Nasional | Sabtu, 06 Agustus 2022 - 17:41 WIB

Rusaknya Barang Bukti Sulitkan Pembuktian Keterlibatan Pihak Lain
Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E. (DERY RIDWANSAH/ JAWAPOS.COM)

BAGIKAN



BACA JUGA


JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Perusakan barang bukti (barbuk) dalam kasus penembakan Brigadir Yosua memiliki dampak serius. Untuk menjerat Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E memang mudah, namun berbeda dengan membuktikan keterlibatan pihak lainnya dalam peristiwa berdarah yang terjadi di rumah mantan Kadivpropam Irjen Ferdy Sambo tersebut.

Hasil otopsi forensik dan uji balistik hanya akan menunjukkan penyebab luka dan kematian. Tanpa mampu memberi bukti siapa saja pelaku.


Kondisi itu berpotensi membuat kasus jadi lemah di persidangan. Bahkan, bisa jadi saat di meja hijau justru diputuskan tidak bersalah. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar mengatakan, barang bukti seperti CCTV, ponsel Brigadir Yosua, dan lainnya telah rusak.

Beda ceritanya bila untuk mengembangkan kasus terhadap pelaku lain. Bahkan, penetapan tersangka mungkin juga bisa terhambat.

Saksi mata dari peristiwa itu juga terbilang sangat minim. Bahkan, bisa jadi sudah tidak murni. Diketahui saksi kejadian tersebut hanya Putri Candrawathi, Bharada E, dan belakangan muncul Brigadir R. "Makanya ada hambatan," urainya.

Salah satu sandaran pembuktian yang dinilai masih murni adalah otopsi forensik. Meski begitu, Fickar menyebut otopsi itu hanya menentukan penyebab luka dan kematian. "Peluru yang mana mengenai bagian tubuh yang mana," terangnya.

Peluru tersebut juga akan menggambarkan jenis senjata yang digunakan untuk menembak. Namun, semua hasil otopsi forensik itu tak mampu membuktikan siapa penembak atau pelakunya. "Otopsi untuk pembuktian peristiwa yang terjadi terhadap jenazah. Bukan siapa pelakunya," ucapnya.

Karena itu, saat tersangka kasus tersebut sudah lengkap, ada kemungkinan bahwa Bharada E memang terbukti bersalah. Namun, bisa jadi pelaku lainnya malah bebas. "Ini bisa terjadi," ujarnya.

Kepada Jawa Pos, ahli forensik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Kristen Krida Wacana Kombespol (pur) Anton Castilani menuturkan, pihaknya tak bisa menjawab apakah pelakunya lebih dari satu. "Kalau itu tanya penyidik," katanya.

Di sisi lain, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menuturkan bahwa sesuai penjelasan tim khusus, diketahui bahwa penembakan yang dilakukan Bharada E bukanlah membela diri. "Situasi saat itu bukan membela diri. Artinya, bukan situasi hidup atau mati," jelasnya.

Saat situasi hidup atau mati, system thinking bersifat cepat, spontan, sangat mendasar, dan instingtif. "Ditembak atau menembak, siapa mati duluan, dan hidup atau mati," paparnya.

Kalau situasinya bukan hidup atau mati, system thinking-nya adalah rasional, sistematis, serta berdasar data dan kalkulasi. "Apa yang dikalkulasi? Ya target, insentif, sumber daya, dan risikonya," terangnya.

Sementara itu, setelah 25 anggota Polri dimutasi dan diperiksa secara kode etik, timbul pertanyaan terkait belum dimutasinya mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombespol Budhi Herdi Susianto. "Mana telegram atau SK-nya," ujar pengamat kepolisian Bambang Rukminto.

Apalagi, sesuai Peraturan Kapolri Nomor 2/2022 tentang Pengawasan Melekat (Waskat), atasan anggota yang melakukan pelanggaran bisa dimintai pertanggungjawaban. Bahkan, atasan yang dimintai pertanggungjawaban itu jenjangnya dua tingkat.

Karena itu, lanjut dia, kondisi yang belum jelas terkait Kombespol Budhi Herdi Susianto memicu masalah. Sebab, asas imparsial di mata hukum berlaku bagi semua personel kepolisian. "Aneh saat Kapolres Jaksel tidak masuk, tapi Kasatreskrimnya masuk TR," urainya.

Sementara itu, Komnas HAM kemarin kembali melanjutkan pemantauan penyelidikan kasus meninggalnya Yosua. Mereka meminta keterangan dari tim siber terkait komunikasi. Diperoleh data bahwa tim siber telah mengumpulkan 15 ponsel yang berkaitan dengan perkara Yosua.

Dari 15 ponsel itu, 10 sudah diperiksa. Lima lainnya sedang dianalisis. Dalam pemeriksaan ponsel tersebut, Komnas HAM mendapat informasi dan data berupa foto, dokumen, kontak, akun, serta percakapan atau chat. "Ada juga temuan digital lainnya," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers.

Beka juga menyebut pihaknya memperoleh dokumen administrasi penyelidikan kasus Yosua. Sekaligus bahan dasar (raw material) yang terkait dengan percakapan dan lainnya. Komnas HAM segera melakukan analisis untuk memperkaya hasil pemantauan yang diperoleh sebelumnya.

Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menambahkan, sejatinya kemarin pihaknya juga mengagendakan pemeriksaan timsus Polri terkait hasil uji balistik. Namun, upaya itu urung dilakukan lantaran timsus belum siap. "Kami sepakati waktu dengan timsus itu hari Rabu pekan depan," imbuhnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook