Pembahasan Tahap I RUU TPKS Selesai, Pengesahan Jangan Menunggu Lama

Nasional | Rabu, 06 April 2022 - 11:46 WIB

Pembahasan Tahap I RUU TPKS Selesai, Pengesahan Jangan Menunggu Lama
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati (ISTIMEWA)

BAGIKAN



BACA JUGA


JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Panja RUU TPKS) bersama pemerintah telah merampungkan harmonisasi pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Senin (4/4/2022) lalu.

Terkait hal itu, Forum Pengada Layanan (FPL), Jaringan Masyarakat Sipil (JMS), dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi penyelenggaraan yang memberi ruang partisipasi masyarakat dalam pembahasan RUU TPKS tersebut. Hal itu diungkapkan Anggota Jaringan Masyarakat Sipil Mike Verawati yang juga Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia kepada Riaupos.co.


“Kami juga mengapresiasi pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi yang progresif sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual. Termasuk hak penyandang disabilitas korban kekerasan,” ujar  Mike Verawati.

Dikatakan Mike, dari hasil pembahasan tersebut, ada beberapa hal penting yang dicatat pihaknya sebagai capaian. Yang pertama, RUU TPKS telah memasukkan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Yakni pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual (KS) berbasis elektronik; penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual.

Yang kedua, ujar Mike, masuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan seksual. Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan pusat layanan terpadu.

Ketiga, adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penanganan perkara kekerasan seksual.

Keempat, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban. Kelima, adanya ketentuan  yang melarang pelaku kekerasan seksual untuk mendekati korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum.

“Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban kekerasan seksual yang tidak harus melarikan diri dari pelaku,” ujar Mike.

Yang keenam, lanjut Mike, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping.

“Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan. Sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli, dan pendamping korban,” jelasnya.

Selain capaian-capaian di atas, lanjut Mike, pihaknya mencatat pula beberapa hal yang masih perlu mendapatkan perhatian. Yang pertama, belum masuknya tindak pidana perkosaan dalam RUU TPKS. Perkosaan, ujarnya, penting untuk masuk dalam RUU TPKS karena merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan menggunakan modus, cara, dan alat, yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para perempuan dan anak korban kekerasan seksual. 

“Modus perkosaan ini juga terjadi di tempat penyandang disabilitas tinggal  dan bersosialisasi,” ungkap Mike.

Yang kedua, ujar Mike, belum masuknya akomodasi yang layak bagi korban, khususnya penyandang disabilitas, dalam setiap proses peradilan.

“Kami berharap dan mengusulkan agar tindak pidana perkosaan dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas masuk dalam RUU TPKS. Kami terus mendukung dan mendorong Panja RUU TPKS untuk segera melakukan pembahasan tingkat II dan mengesahkan RUU TPKS maksimal bulan akhir April 2022,” ujar Mike mengakhiri.

Editor: Edwar Yaman

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook