KONFLIK PERAIRAN NATUNA

Sekalipun Cina Investor Terbesar, Pemerintah Jangan Lembek

Nasional | Senin, 06 Januari 2020 - 19:05 WIB

Sekalipun Cina Investor Terbesar, Pemerintah Jangan Lembek
Suasana konfrensi pers PBNU soal Natuna yang diklaim Cina. (GUNAWAN/JAWAPOS.COM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj angkat bicara menanggapi kasus Perairan Natuna. Dia mendesak pemerintah Cina berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah Natuna.

Menurut dia, Natuna telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB  dalam United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS)1982 milik Indonesia.

“Jadi berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan Republik Indonesia,” ujar Said Aqil dalam konferensi pers di Kantor PBNU, Jakarta, Senin (6/1).

Menurut Said, meskipun Cina merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, namun PBNU meminta pemerintah Indonesia tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi.


“Pemerintah indonesia untuk tidak lembek menjaga keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apapun,” tegasnya.

Said menjelaskan, kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang telah diratifikasi sejak 1994. Karena itu, tindakan Coast Guard mengawal kapal nelayan berbendera Cina di Perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.

Pemerintah Cinasecara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line (sembilan garis putus-putus) pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Cina Selatan yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Cina.

“Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Said, kedudukan laut juga amat strategis sebagai basis pertahanan. Karenanya pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Cina Selatan tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.

“Dalam pandangan Nahdlatul Ulama sebagaimana dinyatakan oleh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, hukum membela keutuhan Tanah Air adalah fardhu ‘ain, dan barang siapa mati demi Tanah Airnya, maka ia mati syahid,” pungkasnya.

Editor: Deslina
Sumber: jawapos.com
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook