JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kepala Divisi Independen Power Produser (IPP) PT PLN, Muhammad Ahsin Sidqi menyatakan, proses penandatanganan dokumen Power Purchased Agreement (PPA) PLTU Riau-1 oleh mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir dipercepat. Padahal terdapat tahapan sebelum PPA yang harus dilewati.
“Saya dapat info dari Iwan Supangkat (Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, Supangkat Iwan Santoso). Pak Sofyan Basir berkehendak tanda tangan PPA sebelum ke luar negeri, ke Eropa kalau tidak salah,” ujar Ahsin saat bersaksi dalam sidang kasus PLTU Riau-1 di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (5/8).
Menurut Ahsin, sebelum tahap penandatanganan PPA, terdapat proses letter of intent (LoI). Seharusnya ditandatangani pada 17 Januari 2018. Namun perjanjian itu ditandatangani pada 29 September 2017.
Tak hanya penandatanganan perjanjian, Sofyan juga meminta adanya percepatan proyek PLTU Riau-1. Sebab proyek tersebut masuk dalam program pengadaan pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
“Ketika rapat-rapat bersama direksi memang perlu percepatan itu saja,” ucap Ahsin.
Dalam perkara ini, Sofyan Basir dia terjerat kasus suap proyek PLTU Riau-1. Dia didakwa memfasilitasi pertemuan sejumlah pihak kesepakatan kontrak proyek IPP Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Mulut Tambang Riau -1.
Jaksa menuduh Sofyan memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan dengan fasilitasi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih, Eni Maulani Saragih; mantan Menteri Sosial, Idrus Marham dan Johanes Budisutrisno Kotjo dengan jajaran direksi PT PLN. Terkait kesepakatan kontrak proyek IPP Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Mulut Tambang (PLTU MP) Riau -1 antara antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan Blackgold Natural Recourses Limited, dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC).
Padahal menurut Jaksa, Sofyan sudah mengetahui bahwa Eni dan Idrus akan mendapatkan sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Sehingga Eni menerima hadiah berupa uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 Miliar.
Atas perbuatannya Sofyan didakwa melakukan pidana Pasal 12 huruf a jo. Pasal 15 jo. Pasal 11 jo. Pasal 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 56 ke-2 KUHP.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal