JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ramai-ramai menerbitkan surat utang (obligasi). Seperti global bond atau komodo bond berdenominasi rupiah. Kondisi itu menguntungkan investor dan perusahaan yang memvaluasi BUMN sebelum menerbitkan utang.
Saat ini, jumlah Utang Luar Negeri (ULN) terus meningkat, termasuk utang BUMN, seperti BUMN Karya yang menanjak drastis. ”Namun, sepertinya pemerintah tidak resah. Beda dengan Malaysia, utang yang banyak bikin resah, muncul gerakan bantu bayar utang,” sindir Bima.
Ia menambakan, siapapun yang mejadi Presiden 2019 nanti, harus mampu mengelola BUMN dan utang-utangnya. Maklum, saat ini berkembang fenomenanya kalau BUMN kesulitan pendanaan, lalu menerbitkan global bond. Itu karena proyek infrastruktur butuh sekitar Rp4.000 triliun. Di mana, kemampuan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya 10 persen. Sisanya swasta dan BUMN.
Efeknya, BUMN dipaksa meneribitkan surat utang baru. Infrastruktur yang dikerjakan dengan tingkat internal rate of return (IRR) rendah. Dampak negatifnya, empat BUMN karya yang listing di bursa, mengalami cashflow negative. ”Jadi, harus ekstra waspada,” ingat Bhima.
Ia menyindir infrastruktur yang katanya untuk mengurangi biaya logistik. Nyatanya, pada praktiknya yang dibangun tidak mengurangi biaya logistik. Misalnya, Kereta cepat Jakarta-Bandung. MRT, kereta bandara. Karena itu, Bhima khawatir tumpukan utang membuat BUMN dipaksa untuk menjual aset atau hak konsesi. Tidak dipungkiri asing dari dulu mengincar aset BUMN strategis. Sudah ada contoh BUMN yang dijual atau di kelola asing.(dai/jpg)