PADANG (RP) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar meyakini bencana banjir bandang dan longsor di Pasaman dan Tanahdatar, disebabkan maraknya illegal logging (pembalakan liar).
Ini terungkap dari hasil investigasi yang dilakukan tim Walhi Sumbar ke hutan dua daerah bencana tersebut.
Koordinator Advokasi dan Kampanye Walhi Sumbar, Erik mengungkapkan, kayu yang dihanyutkan banjir bandang ke permukiman penduduk adalah kayu gelondongan dan tunggul kayu bekas tebangan.
Kayu-kayu itu umumnya jenis katuko, banio, dan meranti, yang sudah langka dan hanya ada di kawasan hutan lindung.
‘’Kalaupun ada kayu yang masih berakar, adalah kayu yang sudah mati. Tidak mungkin di kawasan hutan lindung masyarakat melakukan penebangan kayu, lalu membuka lahan untuk ladang,’’ tuturnya.
Ia menjelaskan, topografi perbukitan di daerah longsor sangat terjal. Tanahnya berjenis entisol dengan sedimen. Tanah jenis ini harus selalu dijaga kerapatan tutupan lahannya. Jika ada lahan kosong, daerah resapan air akan berkurang, hingga akhirnya menghasilkan longsor di bagian tebing yang terjal tersebut.
Menanggapi pernyataan Gubernur Sumbar Irwan Praytino dan Kepala BNPB dari helikopter bahwa tidak ada hutan gundul, menurut Erik, yang terlihat hanyalah pohon-pohon kecil yang belum mempunyai akar kuat untuk menahan resapan air.
Pasalnya, dari penelusuran Walhi di kawasan longsor, tanah yang diseret ke bawah hanya tergerus sekitar 50-60 centimeter. Jika pohon berukuran besar, kedalaman akarnya bisa mencapai lima meter dengan luas jangkauan beberapa meter di sekelilingnya.
‘’Lihat saja kayu yang sampai ke rumah penduduk. Memang masih ada akar, namun pendek dan sudah mati,’’ ulasnya.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Khalid Saifullah mengatakan, kawasan hutan yang menjadi hulu Sungai Malampah, merupakan hutan konservasi yang seharusnya lebat dan dijaga ketat. Namun, kondisinya nyaris berbanding terbalik. 20 persen hutan di Pasaman telah mengalami degradasi yang cukup serius.
Berdasarkan hasil investigasi Walhi, praktik pembalakan liar telah terjadi sejak 2007 lalu dan diduga hasil kayu dijual ke Sumatera Utara. Penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan itu sangat lemah, meski di lapangan banyak ditemukan kayu-kayu bekas pembalakan liar.
Khalid menjelaskan, bencana ekologis terjadi bukan karena perbuatan hari ini. Sebaliknya, akumulasi dari pengrusakan alam yang terjadi dari tahun-tahun sebelumnya. ‘’Sekarang kayu ditebangi, efeknya bukan besok pagi. Tapi, dirasakan oleh anak cucu kita nanti yang akan terkena bencana,’’jelas Khalid.
Terkait luas hutan Sumbar saat ini, berdasarkan SK Menteri Kehutanan, jumlah hutan di Sumatera Barat (SK Nomor 422/Kpts-II/99) adalah 2.600.286 hektare. Menurut data yang dirangkum Walhi, kerusakan hutan di Sumbar sudah mencapai separuh dari jumlah hutan Sumbar.
‘’Sebanyak 1,3 juta hektare hutan Sumbar sudah menjadi lahan kritis. Artinya, sudah kehilangan fungsinya untuk menahan resapan air. Apabila hutan sudah kehilangan fungsi, maka bencana akan terjadi. Seperti musim kemarau kekeringan, musim hujan kebanjiran dan longsor,’’ beber Khalid.
Sebelumnya, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno membantah galodo di Pasaman akibat pembalakan liar. Katanya, itu murni bencana alam. Berdasarkan tinjauan dari udara, kata Irwan, di sepanjang jalur galodo tidak terlihat hutan yang dibabat. Galodo dipicu banyaknya titik longsor di sepanjang aliran sungai.(eca)