JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Indonesia sebagai negara kemaritiman tak terlepas dari sengketa wilayah laut dan kepulauan, termasuk laut Natuna. 16 tahun silam Indonesia sudah kehilangan kedaulatan atas kedua pulau kecil di Laut Sulawesi, yaitu Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang terpaksa kalah dengan Malaysia dalam putusan Mahkamah Internasional.
Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan berada di Laut Sulawesi, terletak di timur laut dari Pulau Kalimantan. Jarak antara kedua pulau tersebut berkisar sekitar 15,5 mil laut. Koordinat dari Pulau Ligitan terletak pada 4˚09’ Lintang Utara dan 118˚ 53’ Bujur Timur, sementara koordinat Pulau Sipadan terletak pada 4˚06’ Lintang Utara dan 118˚ 37’ Bujur Timur. Pulau Sipadan memiliki luas yang sedikit lebih besar daripada Pulau Ligitan.
Sengketa kepemilikan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan mencuat pada tahun 1969 ketika kedua negara mendiskusikan delimitasi landas kontinen kedua negara.
Untuk menghadapi Malaysia, Indonesia mengajukan tiga argumentasi. Dua argumentasi disampaikan secara tertulis, dan satu argumentasi alternatif diajukan ketika oral pleadings.
Mahkamah Internasional menggunakan analisis terhadap klaim effective occupation dan berkesimpulan bahwa klaim yang diajukan oleh Malaysia lebih menunjukkan bukti adanya effective administration atas kedua pulau tersebut dibandingkan klaim yang diajukan oleh Indonesia. Secara khusus ditegaskan bahwa effective occupation harus memiliki karakteristik legislatif dan pengaturan.
Lain halnya dengan sengketa Ligitan dan Sipadan, sengketa Laut Natuna oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) diklaim secara historis bahwa para nelayan Tiongkok telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982.
Namun hal tersebut ditolak oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia bahwa argumen tersebut telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah "relevant waters" yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.
Indonesia Mendesak RRT untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRT di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan RRT sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada akhir pekan mengatakan, Indonesia tidak akan pernah mengakui nine dash line China atas daerah perairan Natuna. Nama Laut Tiongkok Selatan sering dilekatkan kepada klaim nine-dash line milik Tiongkok yang melampaui wilayah beberapa negara. Nine-dash line merupakan wilayah perairan yang diklaim Tiongkok mulai dari Provinsi Hainan hingga Laut Natuna.
Retno menekankan, datangnya kapal coast guard tersebut tetaplah sebuah pelanggaran Tiongkok terhadap United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos) 1982. Maka, sebagai pihak yang turut serta dalam perjanjian tersebut, Tiongkok harus menghormati dalam kesepakatan Unclos 1982.
"Wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui Unclos 1982," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga akan melindungi kapal-kapal ikan Indonesia di Laut Natuna untuk melakukan kegiatan penangkapan hasil laut dan pengambangan di perairan Natuna, karena merupakan hak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Agung Tri Prasetyo mengatakan, pelanggaran RRT tersebut telah dibahas dalam rapat koordinasi khusus keamanan laut (rakorsus kamla).
"Pelanggaran RRT ini telah dibahas di rakorsus kamla yang dipimpin polhukam. Artinya KKP sejalan dengan apa yang disepakati dalam rapat tersebut," ujarnya kepada Jawapos.com seperti di beritakan Minggu (5/1).
Sementara lanjutnya, telah disebutkan juga oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan pemerintah Indonesia akan meningkatkan intensitas patroli di wilayah tersebut. Sebab Tiongkok telah melakukan pelanggaran batas wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Mahfud MD menegaskan bahwa China melakukan pelanggaran batas wilayah RI di Laut Natuna. "Indonesia pun akan meningkatkan intensitas patroli di wilayah tersebut," tuturnya.
Saat ini pihak KKP telah menyediakan kepada Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI Yudo Margono dalam memimpin pengendalian operasi siaga tempur terkait dengan adanya pelanggaran di wilayah perairan Laut Natuna Utara.
Mengutip keterangan tertulus dari Puspen TNI, alat utama sistem senjata (Alutsista) yang sudah tergelar yaitu 3 KRI, 1 pesawat intai maritim, dan 1 pesawat Boeing TNI AU. Sedangkan dua KRI masih dalam perjalanan dari Jakarta menuju Natuna hari ini.
“Kita lihat saja kedepannya,” tutupnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal