VAKSIN MERAH PUTIH LANCAR, TAPI TIDAK BISA TERBURU-BURU 

Herd Immunity Perlu Beberapa Tahun 

Nasional | Rabu, 04 November 2020 - 08:15 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Meskipun kedatangan vaksin semakin dekat, namun masyarakat Indonesia tampaknya harus terus setia dengan protokol kesehatan karena terbentuknya herd immunity perlu waktu hingga beberapa tahun. 

Ketua Tim Riset Uji Klinis  Vaksin Covid-19 Universitas Padjajaran Kusnandi Rusmil mengungkapkan bahwa untuk mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity, injeksi vaksin harus mencapai paling tidak 70 persen dari total jumlah komunitas. 


"Jadi kebal karena virusnya tidak nyampe. Terhalang oleh orang-orang yang sehat. Jadi 70 persen di vaksin, 30 persennya tidak usah,"  jelas Kusnandi, Selasa (3/11). 

Kusnandi menjelaskan, untuk mencapai cakupan 70 persen ini tidak mudah. Setidaknya dengan kondisi saat ini. Jumlah vaksin terbatas, sehingga perlu memilih orang-orang tertentu. Pemerintah telah memutuskan bahwa kelompok yang akan divaksin adalah mereka yang sehat dan berada pada usia antara 18 dan 59 tahun. Tidak di bawah maupun di atas itu. 

Sementara vaksin merah putih yang saat ini juga dikembangkan tidak bisa buru-buru dipakai. Saat ini, kata Kusnandi, uji klinis tahap 3 sudah menghasilkan 1650 orang relawan yang sudah menjalani suntikan tahap 2. Setelah suntikan ini, para dokter dan periset vaksin akan memantau kondisi tubuh para relawan yang telah menerima suntikan vaksin tahap 2 hingga 6 bulan kedepan dengan beberapa kali evaluasi. 

"Laporan (hasil uji klinis tahap 3, red) pertama mungkin bulan Januari. Kemudian semua selesai bulan Maret. Jadi nggak buru-buru. Kalau Indonesia mau beli vaksin dari luar silakan. Tapi untuk vaksin kita belum bisa dipakai," jelasnya. 

Dengan demikian, Kusnandi menyatakan bahwa terbentuknya herd immunity bagi Indonesia peru beberapa tahun. Dalam masa tersebut, protokol kesehatan seperti jaga jarak, pakai masker, cuci tangan dan hindari kerumunan tetap perlu dilakukan. 

Hingga saat ini, kata Kusnandi, proses uji klinis tahap 3 berjalan dengan baik dan relatif tanpa isu yang signifikan. Memang dari jumlah relawan terdapat beberapa orang yang drop off atau tidak melanjutkan proses uji klinis. Namun, Kusnandi mengatakan disebabkan oleh faktor lain seperti pindah lokasi (dari Bandung) maupun jatuh sakit yang bukan disebabkan oleh vaksin. 

Kusnandi mengungkapkan ada sekitar 17 orang yang drop off. 7 karena pindah pekerjaan sisanya karena sakit. 

"Ada yang kena tifus sehingga tidak bisa lanjut imunisasi jadi drop off. Sampai sekarang belum ada yang mengkhawatirkan," katanya.

Kusnandi meyakinkan bahwa proses uji klinisi vaksin ini relatif aman. Pihaknya telah melakukan berbagai macam uji klinis bagi bermacam vaksin seperti tetanus dan difteri. Selain itu, para ilmuwan di Indonesia juga disebutnya memiliki pengalaman yang panjang dalam memproduksi vaksin.

 "Saya sendiri bukan pertama kali melakukan uji klinis. Mungkin sudah 30 kali. Uji klinis (vaksin Covid-19) ini lebih aman daripada misalnya dulu kita uji klinis vaksin tetanus dan difteri," jelasnya. 

Memang dalam beberapa kasus subjek uji klinis mengalami beberapa gejala seperti gatal-gatal dan kulit merah-merah. Kemungkinan orang tersebut tidak tahan dengan satu atau beberapa unsur dalam vaksin yang disuntikkan. 

Ada juga kejadian berat seperti pingsan. Namun Kusnandi menyebut kejadiannya sangat jarang. Dari 1 juta kasus, hanya 1 hingga 0,1 kejadian. "Ini hal yang biasa. Makanya setelah imunisasi nanti jangan pulang dulu. Tunggu 30 menit, karena jika ada reaksi berat-berat biasanya terjadi pada 30 menit pertama," jelasnya. 

Ahli Virologi dari Universitas Udayana Prof Ngurah Mahardika menjelaskan kemajuan teknologi bisa mempercepat riset vaksin. Misalnya saat ini tidak perlu lagi aganya agen penyakit yang murni. Sebaliknya agen penyakit bisa dibuat sitentis dengan tempo waktu yang cepat.  "Zaman dahulu perlu waktu lama untuk menemukan bibitnya saja. Tetapi sekarang hanya dalam waktu satu sampai dua bulan, bisa menemukan bibit agen penyakit," katanya.

Mahardika lantas menjelaskan ragam vaksin yang dibedakan dari bahan dasarnya. Di antaranya adalah vaksina berbasis virus murni yang dimatikan sehingga tidak berbahaya bagi manusia. Vaksin jenis ini seperti yang diujicobakan di Indonesia dalam rangka penyiapan vaksin Covid-19. Dia menyebutkan regulasi untuk vaksin berbasis virus yang dimatikan lebih ringkas.

Dia lantas mengatakan meskipun teknologi mampu mengakselerasi penemuan virus, kepastian tingkat keamanan tidak boleh dikesampingkan. Menurut dia peneliti dan pengembang vaksin tidak pernah mengkompromikan aspek kualtias, daya guna, dan keamanan sebuah vaksin.  

"Termasuk juga keamanan vaksin Covid-19 yang nanti hendak ditemukan. Harus terjamin keamanannya," katanya.

Untuk memastikan aspek keamanan, sebuah vaksin wajib melalui tiga tahap pengujian. Yaitu uji pre klinis fase I, fase II, dan fase III yang melibatkan ribuan sampai puluhan ribu orang. Mahardika mengatakan setelah nanti vaksin beredar di masyarakat, tetap akan trus dimonitor dan diadit terus menerus. Tujuannya untuk memastikan keamanan vaksin yang sudah beredar itu.(tau/wan/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook