JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kebijakan Badan Layanan Umum (BLU) batu bara yang akan diterapkan oleh pemerintah menuai silang pendapat. BLU rencananya akan menggantikan aturan harga khusus domestic market obligation (DMO) batu bara, untuk PT PLN (Persero), industri pupuk dan semen ini.
Perkembangannya diusulkan untuk tidak menyertakan industri non-kelistrikan dalam skemanya. Artinya industri pupuk dan semen harus membeli batu bara sesuai harga pasar tanpa ada mekanisme subsidi. Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu bara Indonesia (ASPEBINDO) Anggawira mengatakan, secara prinsip BLU batu bara seharusnya tidak hanya eksklusif untuk listrik, melainkan juga melibatkan industri lainnya yang dirasa penting untuk ekonomi. "Harusnya BLU dapat menjalankan fungsi pengaturan distribusi, sehingga akan ada penilaian yang jelas dalam menentukan sektor industri yang mana yang perlu diberikan batu bara harga khusus," katanya, Rabu (3/8).
Wakil Ketua Umum ASPEBINDO Fathul Nugroho menambahkan, fokus pemenuhan energi sebaiknya didasarkan pada arah transformasi tata kelola sumber daya alam nasional. Saat ini, arah dari pemerintah jelas, lanjut dia, adalah investasi dan sumber daya alam yang goals-nya mendorong lahirnya industri hilir. Seperti semen, pupuk, dan smelter. "Oleh karena itu kebijakan energi kita juga harus sejalan. Jangan sampai karena harga mahal pertumbuhan industri hilir terhambat," lanjutnya.
Menurut Fathul, industri semen juga perlu mendapatkan jaminan suplai batu bara. Sebab, punya andil besar untuk pembangunan negara. "Kita harus pastikan jangan sampai industri ini (semen,red) semakin kesulitan mendapatkan suplai batu bara, karena efek untuk perekonomian nasionalnya juga besar," paparnya.
Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia Widodo Santoso menambahkan, pasokan batu bara untuk industri semen saat ini semakin menipis. Sehingga, banyak pabrikan yang mematikan atau mengurangi operasinya. Widodo menyebut, saat ini suplai bahan bakar untuk pabrik ada yang hanya bertahan hingga 10 hari. "Semen termasuk 10 barang penting keperluan nasional, tapi saat ini pasokan ke kami susah. Jadi banyak anggota kami mematikan pabrik, perlu ada perhatian khusus juga agar kami dapat mencukupi keperluan semen untuk pembangunan rumah dan infrastruktur yang diperlukan masyarakat," tuturnya.
Widodo membeberkan, jika tidak ada kebijakan DMO seharga 90 dolar AS maka dapat mengakibatkan kenaikan biaya produksi sampai 40 persen. Hal itu bisa berimbas pada daya beli masyarakat karena banderol semen ikut naik.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi memandang, Kementerian ESDM harus tegas memberikan sanksi larangan ekspor dan penghentian produksi bagi pengusaha batu bara yang membangkang terhadap ketentuan DMO. "Berbeda dengan sawit yang menerapkan skema BLU, penerapannya di batu bara melanggar pasal 33 UUD 1945. Pasalnya, batu bara merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara untuk sebesarnya kemakmuran rakyat. DMO merupakan implementasi pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait batu bara seharusnya DMO yes, BLU no," urainya.(dee/dio/jpg)
Laporan JPG, Jakarta