JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rencana pemerintah menaikkan tarif iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas I, II, dan III Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara serentak terganjal restu DPR. Dengan alasan validasi data, dewan menolak kenaikan iuran untuk peserta kelas III.
Penolakan tersebut disampaikan dalam rapat kerja gabungan Komisi IX dan XI DPR membahas defisit keuangan BPJS Kesehatan di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, kemarin (2/9). Ada sembilan poin kesepakatan rapat. Salah satunya poin kedua yang memuat penolakan kenaikan iuran untuk PBPU kelas III saat ini.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Soepriyatno menjelaskan, kenaikan tarif pada PBPU kelas III bisa memunculkan persoalan tersendiri. Sebab, Kementerian Sosial (Kemensos) belum merampungkan pemutakhiran data terpadu kesejahteraan sosial sebagai penentu penerima bantuan iuran (PBI). Masih ada sekitar 10 juta data yang harus diklirkan.
Data tersebut merujuk hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang data kepesertaan yang bermasalah. Terdapat sekitar 27 juta data yang dinilai tidak tepat. Dari jumlah tersebut, tersisa 10 juta data kepesertaan yang sedang dikebut penyelesaiannya oleh Kemensos. “Kita takut nanti ada yang seharusnya terima PBI malah tidak menerima. Karena tidak semua PBPU itu mampu,” ujarnya.
Karena itu, dewan menyepakati untuk menunda kenaikan tarif iuran peserta mandiri kelas III tersebut. Rencananya, kenaikan iuran dibahas lagi setelah pemerintah menyelesaikan sinkronisasi data PBI.
Pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo sempat keberatan. Alasannya, kenaikan iuran menjadi salah satu cara mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan yang terus membengkak.
Menurut Mardiasmo, kekhawatiran tersebut sejatinya sudah menjadi perhatian pemerintah. Ada skenario untuk memasukkan PBPU kelas III yang tidak mampu dalam PBI pusat atau daerah. “PBPU ini ada dua kelas: jelata dan jelita. Kalau jelita biarkan bayar. Jelata ini yang akan dirangkul dalam PBI setelah data kita kembangkan,” jelasnya.
Sayang, DPR tidak ingin berspekulasi dan kukuh meminta pemutakhiran data dirampungkan terlebih dulu sebelum iuran tarif PBPU kelas III dinaikkan. Setelah perdebatan cukup alot, pemerintah dan DPR akhirnya satu suara. Kenaikan iuran dilakukan setelah perbaikan data PBI diselesaikan Kemensos. Artinya, PBPU kelas III tetap membayar iuran Rp 25.500 per bulan per jiwa sampai rapat selanjutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kemensos Andi Z.A. Dulung mengatakan bahwa pihaknya berkejaran dengan waktu untuk merampungkan cleaning data. “Awal tahun masih 27 juta, dua bulan ini sudah 10 juta. Terus kami kebut,” ucapnya.
Di sisi lain, Mardiasmo menegaskan bahwa kenaikan tarif untuk kepesertaan lain tetap berjalan. Iuran untuk PBI pusat maupun daerah akan naik dari Rp 23 ribu menjadi Rp 42 ribu. “PBI memang diterapkan mulai 1 Agustus 2019. Tapi, uangnya dicairkan kalau perpres revisi tentang JKN sudah diterbitkan,” katanya. Draf perpres sudah diajukan kepada presiden dan tinggal menunggu ditandatangani.
Sementara itu, iuran peserta PBPU kelas I dan II akan resmi berlaku per 1 Januari 2020. Angka kenaikan mengacu skema yang diusulkan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat dengan DPR sebelumnya. “Kelas I dan II jadi Rp 160 ribu dan Rp 110 ribu,” ungkapnya. Jangka waktu yang ada akan dimanfaatkan pemerintah untuk menyosialisasikannya kepada masyarakat.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwir